Tuesday, July 2, 2013

Gus Dur Miliki Tuah dan Tulah

Budayawan Agus Sunyoto melihat dari sudut pandang berbeda tentang kekuatan supranatural yang dimiliki oleh Gus Dur, yang telah disaksikan oleh banyak orang. Dalam konsep kebudayaan Jawa klasik, Gus Dur memilik kekuatan Ratu yang memberinya tuah dan tulah.

Dalam tradisi Jawa Kuno pada aliran Kapitayan, kekuatan yang dianggap nomor satu adalah kekuatan mistik, yaitu kekuatan ratu atau datu. Mereka yang memiliki kekuatan seperti ini secara otomatis diangkat menjadi pemimpin. Keyakinan tersebut masih berlaku di masyarakat sampai sekarang sehingga syarat utama menjadi pemimpin yang diakui adalah memiliki kemampuan linuwih yang disaksikan oleh orang banyak.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pengaruh India datang ke wilayah Nusantara, struktur masyarakat semakin kompleks dengan munculnya tata administrasi kerajaan. Tetapi inti kekuatan tradisional dengan kekuatan ratu ini masih penting, tak heran raja harus memiliki keraton atau kedaton, yang didalamnya juga disimpan pusaka-pusaka kerajaan untuk mendukung kekuatan ratu.

“Raja yang tidak punya kekuatan ratu tidak dianggap oleh masyarakat. Karena itu, ketokohan di NU sangat ditentukan oleh kekuatan gaib yang mengiringi seorang pemimpin,” katanya dalam perbincangan dengan NU Online baru-baru ini.

Pemimpin yang punya kekuatan gaib disebut punya tuah, dan orang lain yang merusaha mencelakai atau bermaksud buruk bisa kena tulah. Ia mencontohkan Bung Karno yang memiliki kharisma, apa yang dibicakana, semua orang akan mengikuti dan orang yang akan mencelakai akan kena tulah. Demikian pula, Soeharto berusaha memiliki kekuatan tuah dengan mengumpulkan berbagai pusaka yang dianggap bisa menambah kharismanya.

Gus Dur secara nyata telah dibuktikan oleh banyak orang memiliki kekuatan spiritual, yang lalu kesaksian tersebut disebarkan dari mulut ke mulut, yang membuat orang semakin menghormatinya. Mereka takut jika berniat buruk terhadap Gus Dur bisa kena tulah atau dalam bahasa populernya ‘Kualat Gus Dur’.

Wakil ketua Lesbumi NU ini berpendapat ada faktor trah atau keturunan, tetapi ada pula potensi dalam diri tiap individu untuk meningkatkan potensi kekuatan ratu ini. Tapi salah satu ciri mereka yang memiliki adalah mengedepankan kepentingan orang lain karena kekuatan ratu memang diperuntukkan untuk menjadi seorang pemimpin.

Terkait dengan kewalian, ia melihat adanya kesamaan antara kekuatan ratu dan kewalian. Wali berasal dari konsep Islam, yang ada para orang yang menghindari kehidupan keduniawian dan kebanyakan mengkritik otoritas kekuasaan duniawi seperti munculnya Abu Nawas pada zaman Harun al Rasyid, yang memberi perspektif lain dalam memandang berbagai persoalan ketika itu.

Sementara itu kekuatan ratu muncul dalam lingkaran kekuasaan, tetapi berperan sebagai penyeimbang bagi konsep raja yang memiliki kekuasaan administratif yang berasal dari India. Ini karena kekuatan ratu yang dikenal antara tuah dan tulahnya, tidak ada kekuatan duniawinya.

“Orang awam menduga semua kekuatan gaib itu wali, padahal belum tentu,“ jelasnya.

Maka dari itu, dalam tradisi Jawa kuno, tidak dikenal konsep putra mahkota dari anak pertama. Raja yang dipilih adalah raja yang dianggap memiliki kekuatan ratu lebih tinggi, yang lebih sakti. Sultan Agung merupakan contoh orang menjadi raja meskipun bukan putra pertama.

Tetapi ia menegaskan, kekuatan ratu ini berbeda dengan kekuatan pedukungan, yang dalam bahasa kuno disebut usada, yang perannya untuk pengobatan sementara kekuatan tuah dan tulah lebih dikhususkan untuk memimpin orang.

Salah satu dari konsekuensi kekuatan ratu adalah, ketika menginjak usia 50 tahun, ia harus madeg pandito, berhenti menjadi raja untuk bertapa dan menekuni masalah spiritual.

Kemunduran kerajaan Hindu Majapahit adalah dikarenakan pemegang kekuatan ratu tidak boleh berdagang. Inilah yang menyebabkan mereka tersingkir dari para penyebar Islam yang berdakwah di kawasan pesisir.

Penghormatan masyarakat terhadap ulama yang memiliki kekuatan ghoib, masih jelas sekali, terbukti kiai tarekat lebih dihormati daripada guru fikih. “Kalau Gus Dur mungkin mewarisi kekuatan ghaib penguasan nusantara zaman dulu,“ jelasnya.

Pemimpin negara Indonesia saat ini kurang dihormati karena memang tidak memiliki kesaktian. “Apalagi pemimpin yang naik karena duit, ya tidak ada tuahnya, karena tuah tidak ada kaitan dengan materi,“ tandasnya.

No comments:

Post a Comment