Wednesday, July 24, 2013

Gus Dur malah masih membaca Al-Qur'an dengan hafalan (Bil Ghoib).

 Suatu ketika KH. Zainal Arifin, pengasuh PP. Al Arifiyyah Medono Kota Pekalongan ,diminta tolong oleh panitia untuk menjemput Al-Maghfurlah KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur untuk mengisi sebuah acara akbar di Kota Pekalongan.

Waktu itu panitia minta didampingi Kiai Zainal untuk menjemput Gus Dur yang sedang mengisi acara pengajian di Semarang Jateng. Seusai acara dan ramah-tamah dengan para tamu, Gus Dur memutuskan untuk ikut rombongan Kiai Zainal dan Panitia ke Pekalongan.

Waktu itu kurang lebih pukul 1 atau 2 dinihari. Kiai Zainal dan Panitia, setelah berbincang secukupnya dengan Gus Dur, tahu diri mempersilahkan Gus Dur untuk Istirahat di mobil yang melaju dengan tenang. Maklum, jalur pantura pada jam segitu juga sudah lengang.

Kita tahu Gus Dur kondisi fisiknya terbatas, kesehatannya juga mulai menurun, serta jadwal juga padat. Tentu saja sesuai logika norrmal, aktivitas ini akan menguras tenaga dan pikiran Gus Dur. Tapi, alih-alih istirahat di dalam mobil yang melaju dengan tenang tersebut, Gus Dur malah masih membaca Al-Qur'an dengan hafalan (Bil Ghoib).

Sementara itu, Kiai Zainal dan panitia yang jelas secara fisik lebih sehat 100% dibanding Gus Dur sudah kecapekan dan hampir terlelap, kaget ketika mendengar Gus Dur dengan suara lamat-lamat 'mendaras' Al-Qur'an secara hafalan.

Kontan rasa kantuk Kiai Zainal dkk hilang. Dengan penasaran Kiai Zainal dkk menyimak hafalan Gus dur. Tak terasa 1 jam lewat. Sampailah rombongan itu di Pekalongan. Air mata Kiai Zainal dkk tumpah ruah. Ia membayangkan orang yang selama ini sering disalahpahami berbagai pihak, dicaci-maki, dikutuk, dikafirkan, difitnah, dicemo'oh dst, malam itu dengan kondisi fisik dan kesehatan yang sangat terbatas, dan kelelahan yang luar biasa setelah hampir sehari semalam beraktifitas penuh dengan berbagai kegiatan, malam itu dalam waktu 1 jam perjalanan Semarang-Pekalongan ternyata masih 'menyempatkan' membaca Al-Qur'an dengan hafalan sampai 5 juz lebih!

Apakah mereka yang mengkafir-kafirkan beliau sanggup melakukan hal demikian? Subhanallah. Ternyata ini salah satu kebiasaan Gus Dur jika berada di dalam perjalanan. Bukan seperti kita, alih-alih baca Al-Qur'an,  berdoa saja kadang lupa,  malah mendengarkan musik. Entahlah, saya tak tahu kebiasaan mereka yang merasa lebih 'Islami' dari Gus Dur.

Demikian kisah dari Al-Mukarrom KH. Zimam Hanifun Nusuk "Gus Zimam Hanif.''


ilaa murabbi ruuhii, KH. Abdurrahman Wahid, al-Fatihah.

Tuesday, July 2, 2013

GUS YUSUF CHUDLORI Menjaga Benteng Terakhir

Nama Yusuf Chudlori, yang akrab dipanggil Gus Yusuf, mulai banyak dikenal setelah berkiprah di Partai Kebangkitan Bangsa. Pengasuh Asrama Perguruan Islam Pondok Pesantren Salaafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, itu pernah menduduki jabatan Ketua Dewan Pengurus Wilayah PKB Jawa Tengah. Anita Yossihara
Namun, baginya, berpolitik bukanlah tujuan untuk meraih kekuasaan. Kiprahnya di PKB merupakan panggilan agar bisa berbuat sesuatu untuk bangsa dan masyarakat.
Pascaperpecahan di tubuh PKB, Gus Yusuf memilih kembali ke masyarakat. Ia mulai aktif di sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Salah satunya adalah Komunitas Gerakan Anti Narkoba dan Zat Aditif yang bergerak dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
Gus Yusuf juga aktif dalam gerakan budaya, dengan bergabung dalam Komunitas Lima Gunung, yakni komunitas seniman Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Menoreh, dan Andong. Di kalangan tokoh-tokoh Komunitas Lima Gunung, ia memang paling muda dibandingkan dengan tokoh-tokoh senior seperti seniman Sitras Anjilin, Sutanto Mendut, dan Romo V Kirjito.
”Tetapi, ia tokoh muda yang potensial ke depan karena mendalami dan menyebarkan visi KH Abdurrahman Wahid tentang pluralisme hingga ke tingkat bawah,” kata Romo Kirjito mengomentari ketokohan Gus Yusuf.
Hari-harinya diisi dengan mengajar di pondok pesantren, menyalurkan ilmu yang ditimbanya dari berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Setiap hari dia juga harus menerima tamu yang datang untuk berkonsultasi, meminta pendapat, dan semacamnya.
Anak dari ulama karismatis Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Haji Chudlori, itu pun cukup dikenal di kalangan muda dan mahasiswa. Ia sering terlibat dalam forum-forum diskusi dengan kaum muda NU Jateng.
Ayah tiga anak itu juga mendirikan radio sebagai sarana untuk menyampaikan pandangan serta pemikirannya. Dia juga tidak enggan memenuhi undangan dakwah dari kampung ke kampung. Sekolah-sekolah juga mulai menjadi lahan garapannya.
Ia mengingatkan umat agar kembali kepada tradisi yang menjadi benteng terakhir untuk menangkal pengaruh liberalisme sekaligus radikalisme yang tumbuh subur pascareformasi.
Berikut petikan wawancara bersama Gus Yusuf di kediamannya di Tegalrejo, Magelang, Senin (9/11).
Masalah apa yang saat ini dianggap paling mengganggu bangsa ini?
Sejak reformasi ini, banyak persoalan yang muncul akibat kebebasan yang ada. Reformasi masih dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai kebebasan semata. Padahal, makna reformasi adalah bagaimana kita harus menata, membenahi kembali kondisi bangsa.
Era kebebasan ini memang ada sisi maslahat (manfaat) dan juga sisi mudarat (kerugian)- nya. Maslahatnya, kita bisa mengakses informasi dari mana pun dengan bebas dan menyampaikan sesuatu secara bebas.
Kiai-kiai, misalnya, bisa ceramah di mana pun dengan bebas. Dulu, tahun 1990-an, mau ceramah saja sulit, harus izin ke koramil (komando rayon militer), ke polsek (kepolisian sektor). Bahkan, kiai harus mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), haru punya SIM, surat izin mengaji, dan sebagainya. Alhamdulillah, sekarang kita sudah leluasa untuk berceramah.
Tetapi, di sisi lain ada mudaratnya. Kebebasan ini juga membukakan pintu masuk kepada paham-paham atau aliran-aliran pemikiran yang bersifat impor, dari luar negeri. Kalau menengok terlalu ke kiri, akan menjadi liberal. Sebaliknya, kalau terlalu menengok ke kanan, akan menjadi radikal.
Kalau di Islam, paham-paham radikal dari Timur Tengah mulai masuk. Aliran itu memang sudah ada sejak Orde Baru, tetapi tidak leluasa. Pascareformasi mereka secara terbuka mencari jemaahnya ke masjid-masjid sampai ke desa-desa.
Ini bukan hanya soal akidah, tetapi juga sudah menyangkut masalah kebangsaan. Karena paham radikal itu masuk bukan hanya membawa akidah, tetapi juga kepentingan kekuasaan. Mereka sudah mulai mengutak- atik NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan mengampanyekan pembentukan pemerintahan Islam di muka bumi. Sekarang ini (gerakannya) sangat terasa di masyarakat karena mulai masuk ke masjid- masjid, ke kelompok-kelompok pengajian, bahkan sekolah-sekolah.
Mereka mengklaim, Islam itu Arab. Kelompok ini punya militansi, ilmu, juga dana. Dana ini yang berbahaya karena mereka bersedia membantu biaya pembangunan masjid hingga 50 persen. Tapi, syaratnya, masjid tidak boleh dipasang beduk, tidak boleh buat baca Al Barzanzi (kitab berisi syair puji-pujian kepada Rasul Muhammad SAW dan Allah SWT).
Persoalannya tidak berhenti pada soal akidah maupun tradisi karena fenomena itu juga membuat masyarakat terbelah. Bulan puasa yang lalu ada perpecahan di sebuah desa yang berjarak 15 kilometer dari sini (kediaman Gus Yusuf). Ada sebuah masjid yang kiainya kebetulan pergi ke Malaysia karena alasan ekonomi. Sewaktu si kiai pulang ke desa, masjid sudah dibangun megah dengan bantuan dana tadi.
Ada acara buka bersama dan makanan disajikan di dalam masjid. Si kiai itu mengingatkan, mbok makanannya ditata di serambi saja. Peringatan itu membuat marah sekelompok masyarakat yang sudah dipengaruhi kelompok dengan paham baru itu. Sementara si kiai bersikukuh karena masjid dibangun di atas tanah wakaf keluarganya.
Sekelompok masyarakat itu lalu keluar dari masjid, mendirikan tenda untuk beribadah di lapangan. Mereka potong saluran air PAM dan aliran listrik, masjid dirusak. Masalah ini sampai ditangani polisi karena sudah masuk kriminal.
Itulah dampak yang paling dikhawatirkan karena memecah belah masyarakat. Itu membahayakan karena di Jateng dan DIY saja masjid yang dibangun dengan dana dari Timur Tengah itu sudah ratusan.
Kemudian di dunia pendidikan sekarang ini banyak sekolah baru yang berlabelkan Islam dengan kualitas dan sarana yang bagus. Awalnya saya ikut bangga, tetapi persoalan baru muncul kemudian setelah mengetahui pola pendidikannya.
Lebaran yang lalu saya kedatangan tamu suami istri. Mereka bercerita telah memasukkan anaknya ke sekolah full day Islam favorit karena keduanya sibuk bekerja. Harapannya, di sekolah itu anak bisa memperoleh ilmu umum dan ilmu agama.
Tetapi, kemudian mereka kaget melihat perkembangan sang anak. Saat jalan-jalan dan melihat KFC, anaknya yang masih kelas II SD berkata, ”Itu restoran milik Amerika, kafir. Kita enggak boleh, Pak, jajan di situ.”
Tamu saya itu kaget, kok anak kelas II SD sudah bisa mengafir-ngafirkan, artinya sudah ditanamkan kebencian kepada orang lain sejak kecil. Itu kan berbahaya.
Puncaknya, saat tamu saya datang ke sekolah, dia memuji fasilitas sekolah yang lengkap. Tapi dia kaget saat mengetahui di sekolah itu tidak ada tiang bendera. Lalu, bertanyalah dia kepada guru di sana, mengapa tidak ada tiang bendera. Jawabannya cukup mengagetkan, karena, katanya, menghormat bendera itu salah satu kemusyrikan.
Lalu, saya juga didatangi guru BP (bimbingan dan penyuluhan) sebuah SMA favorit. Dia mengeluh karena ada satu anak didiknya yang berprestasi dan terpilih menjadi anggota paskibraka di kabupaten memilih mundur karena tak mau menghormat bendera.
Padahal, menurut saya, menghormat bendera adalah bentuk penghormatan kepada pejuang, termasuk para kiai yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Islam juga mengajarkan hizbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman.
Lalu, apa dampak luas dari adanya fenomena tersebut?
Kalau melihat itu semua, wajar bila terorisme tumbuh subur. Tak mengherankan jika sekolah dan masjid menjadi ajang rekrutmen teroris karena sejak kecil sudah ditanamkan kebencian kepada orang lain, bahkan sesama Muslim, dan kebencian kepada bangsanya sendiri.
Yang harus dilakukan negara?
Negara harus tegas. Seharusnya negara tidak membiarkan kelompok tertentu mengampanyekan pembentukan pemerintahan Islam dunia. Departemen Pendidikan Nasional juga harus lebih ketat menyeleksi dan mengevaluasi sistem serta pola pendidikan di sekolah-sekolah.
Pemerintah juga harus serius dalam penegakan hukum. Kegagalan pemerintah dalam menangani kasus yang sekarang ini mencuat (KPK vs Polri) akan dijadikan alasan pembenar oleh kelompok itu bahwa yang paling benar adalah hukum yang sesuai dengan syariat Islam.
Pemberantasan teroris juga jangan setengah-setengah, jangan hanya menangkap si A, si B, tapi berantas dari akar-akarnya. Salah satunya, dengan meningkatkan derajat perekonomian masyarakat karena kelompok itu memiliki dana yang digunakan untuk membantu dan memengaruhi masyarakat.
Lalu, bagaimana masyarakat harus bersikap?
Masyarakat harus diingatkan untuk kembali ke Pancasila. Pancasila itu merupakan bingkai yang paling ideal untuk menangkal paham-paham itu. Pancasila juga mencerminkan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan, kesamaan derajat, kemanusiaan, dan ketuhanan. Meski Islam mayoritas, umat agama lain tetap harus dihormati.
Selain itu, masyarakat juga harus kembali ke tradisi karena tradisi itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi berkumpul dengan sesama warga, seperti kenduren dan semacamnya, harus terus dihidupkan. Karena jika suatu permukiman itu kering, tidak ada tradisi berkumpul, akan menjadi lahan empuk bagi tumbuhnya gerakan radikal dan terorisme. Tradisi itulah yang merupakan benteng lokal untuk menangkal tumbuh suburnya radikalisme.
***
M Yusuf Chudlori
• Tempat dan Tanggal Lahir: Magelang, Jawa Tengah, 9 Juli 1973
• Kegiatan Utama: Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
• Pendidikan:
- Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 1994
- Pesantren Salafiyah Kedungbanteng, Purwokerto, Jawa Tengah
- Pesantren Salafiyah, Kebumen, Jawa Tengah
- Institute Training for Development, Massachusetts, Amerika Serikat •
Kegiatan Lain:
- Ketua Tanfidziyah PKB Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
- Pejabat Sementara Ketua DPW PKB Jawa Tengah, 2007
- Ketua Yayasan Syubbanul Wathon, Magelang, Jawa Tengah
- Anggota Komunitas Gerakan Antinarkoba dan Zat Adiktif – (Komganaz)
- Salah satu pendiri Komunitas Merapi- Salah satu pendiri Komunitas Lima Gunung
- Pendiri Akademi Gunung- Pengelola Radio Fast FM, 2004
• Publikasi/Buku:
- Menapak Hidup Baru
- Fiqih Interaktif- Baiti Jannati, Rumahku Surgaku
• Keluarga:
Istri: Vina Rohamatulummah
Anak:
- Ahmad Haikal Tajani Humaid
- Yusfina Zahra Tsania

Gus Yusuf - Pesantren Tegalrejo Tahlilan Selama 40 Hari

Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam (Ponpes Salaf API) Tegalrejo, Magelang, menggelar tahlilan selama 40 hari memperingati kematian Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Gus Dur pernah menjadi santri pesantren ini selama 2,5 tahun pada 1957-1959.

Pengasuh Ponpes Salaf API Tegalrejo, KH Muhammad Yusuf Chudlori, mengatakan, rencana pembacaan tahlil dan Al Qur’an akan dilakukan para santri setiap malam pukul 23.00–24.00 WIB. Kegiatan tersebut akan diadakan selama 40 hari penuh yang akan diikuti sebanyak 4.000 santri.

“Pembacaan tahlil selama 40 hari itu hanya terbatas kepada para santri," kata Gus Yusuf. "Sedangkan untuk masyarakat umum, mereka bisa bergabung pada saat pembacaan tahlil hari ketujuh mendatang,” katanya kepada VIVAnews, 31 Desember 2009.

Pada hari ketujuh, disebutkan Gus Yusuf, peserta pembacaan tahlil diperkirakan tidak hanya masyarakat sekitar Pondok, namun juga akan mengundang kalangan lintas agama di luar Islam. Bahkan, menurut rencana akan mengundang beberapa tokoh penting. “Namun, siapa saja tokoh tersebut, kami masih belum bisa menyebutkan,” ujarnya.

PBNU sendiri menurut Gus Yusuf telah menganjurkan kepada masjid-masjid maupun surau-surau hingga ke tingkat NU ranting supaya menggelar pembacaan tahlil selama tujuh hari. Hal ini dimaksudkan untuk mendoakan Gus Dur yang meninggal Rabu 30 Desember lalu.

Gus Yusuf: Tak Hanya Semangat, Berjuang Butuh Ilmu

KH Yusuf Chudlori, pengasuh PP API Tegalrejo Magelang memberikan taushiyah kepada para jama’ah pada kegiatan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Tahun 1434 H yang diselenggarakan GP Ansor , Fatayat NU dan Banser Kecamatan Sleman, Sabtu (2/2) lalu.

Dalam kesempatan tersebut Gus Yusuf, panggilan kiai muda Asal Magelang itu, memberikan nasihat kepada ribuan hadirin yang memadati komplek Masjid Agung Kabupaten Sleman.

Gus Yusuf menekankan bahwa berjuang di dalam menegakkan agama khususnya aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan perbuatan yang mulia. Para pejuang dalam menegakkan Islam akan selalu berada di bawah naungan Allah SWT.

“Namun fenomena saat ini banyak perjuangan yang hanya berbekal semangat saja tanpa dilandasi dengan ilmu. Semangat itu penting namun lebih indah lagi apabila dilandasi dengan ilmu,” ujar Gus Yusuf .

Gus Yusuf memberikan nasihat kepada seluruh hadirin agar selalu tidak bosan guna mencari ilmu khususnya ilmu agama. Dikatakannya, dengan ilmu segala sesuatu akan lebih bermanfaat dalam menjalankan roda organisasi Ansor, Fatayat NU dan Banser yang berupa keistiqomahan didalam berjuang.

Selain itu ia juga mengingatkan, untuk mencari ilmu khususnya ilmu agama wajib kepada orang yang benar-benar menguasai ilmu agama. Jika belajar agama bukan kepada ahlinya makan kehancuran akan menunggu di depan mata.

“Lebih baik apabila dalam mempelajari agama di pondok-pondok pesantren yang berbasis Ahlussnunnah wal Jama’ah, karenda di dalam pesantren kesanadan ilmu terjaga dan bersambung sampai Rasulullah SAW,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut hadir Ketua PW GP Ansor DIY Sahabat Fairuz, Ketua PCNU Sleman KH Nurjamil Dimyati, anggota DPRD Sleman Sahabat Nurus Saifudin dan ribuan Jama’ah yang mengiring lantunan sholawat yang dibawakan oleh Al Habib Agil Bin Umar Al Quthban.

Di akhir acara yang diselenggarakan oleh GP Ansor, Fatayat NU dan Banser Kecamatan Sleman, Rais Syuriyah PCNU Sleman KH Masud Masduqi memimpin do’a.

Gus Yusuf Mengungsi adalah bagian dari ikhtiar

MENGUNGSI bukan berarti menghindari kematian. Sebab, kematian adalah takdir yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. Mengungsi adalah bagian dari ikhtiar yang memang sudah seharusnya dilakukan manusia, agar bisa bertahan dan melanjutkan kehidupan.
Photo by Sahrudin“Seperti ketika Rasululah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, untuk mengatur strategi menghadapi Abu Jahal,” tutur KH Muhammad Yusuf Chudlori atau yang kerap disapa Gus Yusuf, di Wisma Nugraha Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, Kamis malam (2/12).
Di depan sekitar seribu jamaah yang terdiri dari pengungsi dan warga Desa Banyurojo dan sekitarnya, Gus Yusuf membagi pengetahuannya tentang banyak hal menyangkut bencana Merapi.
“Kita tidak boleh suudzon atau berburuk sangka kepada Allah SWT. Banyak hikmah yang bisa kita petik, kalau kita benar-benar merenungkan,” lanjut pria kelahiran 9 Juli 1973 ini.
Katanya, niatkan saja bahwa mengungsi ibarat masuk pondok pesantren, atau bermuhasabah. Mengungsi adalah belajar tentang banyak hal.
Photo by Sahrudin“Dulu di dusun asal, kita neng-nengan (tidak rukun) dengan tetangga. Sekarang, di pengungsian, kita dijadikan oleh Allah tinggal dalam satu rumah. Merapi ciptaan Allah, kita ciptaan Allah. Merapi itu saudara kita. Kalau Merapi sedang marah, kita mengalah dulu. Nanti kalau sudah lerem (tenang) kita berbaikan lagi,” ucapnya.
Berbagai kejadian selama letusan Merapi, dikemas Gus Yusuf dalam bahasa yang komunikatif dan menggelikan. “Sekarang, pohon kelapa saja bersedekap. Tanaman salak sujud semua. Kok manusia masih saja gembelengan (bebal, pongah, bergaya),” ujar ulama yang aktif dalam banyak organisasi dan komunitas ini.
Tentu saja, perumpamaan yang ia sebutkan mengundang tawa warga dan pengungsi yang datang dari Dusun Babadan, Desa Paten, Kecamatan Dukun ini. “Saya dengar, orang Babadan dan orang Banyurojo keturunan bangsawan semua, bangsane tangi awan (golongan orang yang selalu bangun siang),” cetus Gus Yusuf.
Photo by Sahrudin“Pak, Bu, kalau mau Merapi tidak mau meletus lagi, yang 5 waktu jangan tertinggal. Bangun pagi, jangan siang. Ajari putra-putri mengaji. Dalam Alquran, Allah janji, gunung akan tunduk kalau makhluk Allah rajin mengaji,” kata Gus Yusuf.
Ia kemudian mengutip Quran Surat Alhasyr ayat 21: “Kalau sekiranya Kami turunkan Alquran ini di atas sebuah gunung, niscaya akan kalian lihat gunung itu tunduk karena takut kepada Allah,” ungkapnya.
Dia menuturkan gunung api yang aktif di Indonesia ada 19. Kalau mau, Allah bisa saja meletuskan semuanya secara bersamaan. “Allah yang pegang remote-nya. Tinggal pencet, Merapi meletus. Pencet lagi, Bromo meletus,” papar Gus Yusuf, yang membuat para jamaah tertawa lebar.
Photo by SahrudinIa katakan juga, orang Indonesia baru mau sedekah kalau sudah ada musibah. Padahal, jelas Gus Yusuf, sedekah dilakukan agar manusia terhindar dari berbagai bentuk musibah.
Oleh panitia, pengajian yang baru dimulai sekitar pukul 21.20 WIB itu diberi judul “Tabligh Akbar Sareng Gus Yusuf Kagem Sedherek Lereng Merapi” atau Tabligh Akbar Bersama Gus Yusuf Untuk Saudara-saudara dari Lereng Merapi.
Di Wisma Nugraha Desa Banyurojo, hingga saat ini memang masih terdapat sekitar 100 pengungsi dari Dusun Babadan, Desa Paten, Kecamatan Dukun. Mereka rencananya baru akan kembali ke rumah masing-masing pada Minggu siang (5/12).
“Apa yang disampaikan Gus Yusuf, mudah-mudahan dapat menjadi bekal rohani bagi saudara-saudara kita, sekembalinya dari pengungsian nanti,” kata Agus Firmansyah, Ketua Panitia Tabligh Akbar. Agus mengatakan, panitia hanya mempersiapkan acara tersebut selama 3 hari 2 malam. “Ini semua serba mendadak. Dana sangat minim, tapi banyak pihak yang bantu,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pihak-pihak yang turut mewujudkan Tabligh Akbar tersebut, yaitu Media Ndeso (komunitas organizer, videografer dan fotografer Desa Banyurojo), Kelompok Seni Rebana An-Nahl dari Dusun Saragan, tim relawan dari Unnes (Universitas Negeri Semarang), serta Pemerintah Desa Banyurojo.
“Seorang warga Dusun Kranggan meminjamkan sound system, warga Dusun Saragan dan petugas keamanan membuat acara lancar, semua ikut berperan,” kata Agus, yang juga Kepala Urusan Keuangan Pemerintah Desa Banyurojo.
Photo by SahrudinIa juga mengucapkan terima kasih kepada Harian Magelang Ekspres yang sudah memberikan bantuan dan membagi-bagi koran gratis kepada para peserta Tabligh Akbar.
Sebelum Tabligh Akbar berakhir, Gus Yusuf mengajak para jamaah bershalawat. Pada saat yang sama, beberapa relawan mengedarkan kardus kepada hadirin untuk mengumpulkan dana amal bagi para pengungsi Merapi dari Dusun Babadan.
Begitu terkumpul, uang sebesar Rp 870.700, – hasil sumbangan para jamaah Tabligh Akbar langsung diserahkan oleh Mudrikah, Kepala Desa Banyurojo kepada perwakilan pengungsi.*

Ritual Kurban dalam Bencana

Bagi bangsa Indonesia, kehadiran Hari Raya Idul Adha dan ritual Kurban tahun ini dengan variasi bencana mulai Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo, memiliki makna penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran dan makna agama.

Ritual Kurban merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universal Islam. Sementara bencana alam dan sosial yang mendera rakyat merupakan simbol wahyu Allah yang diturunkan kepada bangsa Indonesia agar merenungkan kembali atas perilaku-perilaku negatif yang sering diperbuat.

Al Quran menyeru umat Islam untuk menyelenggarakan ritual Kurban dengan menyembelih binatang unta atau lainnya, seperti sapi, kerbau, dan kambing, untuk dibagikan dagingnya kepada orang-orang miskin. Perintah Allah dalam Surat 22:36-37 yang artinya, "Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik".

Ajaran Monoteisme Ibrahim
Makna Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran monoteisme Nabi Ibrahim AS yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri.

Tanpa Allah, yang ada hanya kekacau-balauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang (Abd A'la: 2003). Mungkin karena bangsa ini melupakan Allah dengan berperilaku korup, maka bencana didatangkan oleh Allah secara bertubi. Padahal dengan Idul Adha umat manusia diberi hak untuk melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempitnya sehingga dapat "menjumpai" Allah setiap saat.

Ritual Kurban juga melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Wahyu Allah kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yang lalu diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh melakukan korupsi atau serakah menggunakan uang rakyat, meskipun uang darinya dipergunakan untuk berhaji, bersedekah, dan menyantuni anak yatim. Nilai-nilai yang merepresentasikan kedermawanan dalam ritual Kurban dalam Idul Adha perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan dengan cara mendermakan uang yang benar-benar hasil jerih payah.

Seharusnya pengertian ini kita tangkap setiap waktu sebab setiap tahun umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Hari raya tersebut merupakan peringatan atas pengalaman rohani Ibrahim, nenek moyang agama monoteis dan Semitik, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman rohani tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia.

Bila kita telusuri perintah berkurban dan berhaji dari latar belakang turunnya perintah tersebut hingga tata cara pelaksanaannya, akan kita temukan beberapa simbolisasi yang begitu indah dan agung tentang dimensi kemanusiaan atau ukhuwah insaniyah.

Ibrahim, melalui mimpi yang haq, menerima perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as. Singkat cerita, setelah mendiskusikan mimpinya kepada putra tercintanya, Ismail, dan istrinya, Siti Hajar, Ibrahim berhasil membunuh "berhala" rasa cinta kepada anaknya, bahkan malah memperoleh ridha Allah, yang menganugerahinya seekor kambing sebagai hewan kurban sehingga Ismail selamat.

Pengurbanan Ibrahim dan Ismail dalam menjalankan perintah Allah tersebut memiliki makna luar biasa dalam kehidupan manusia. Betapa tidak? Kesediaan berkurban yang dilakukan Ibrahim sejatinya bermuara pada bentuk atau perwujudan kepedulian sosial (Nurcholish Madjid: 2004).

Apalagi, sebagaimana kita ketahui, dari peristiwa yang dialami Ibrahim tersebut muncul perintah Allah kepada umat Islam untuk menyembelih hewan kurban. Pengurbanan dengan memotong hewan ternak adalah perwujudan kepedulian sosial. Mengapa hewan ternak? Sebab, pada zaman Ibrahim, kepemilikan terhadap hewan ternak merupakan pertanda atau lambang kekayaan tertinggi dari seseorang.


Tidak Melakukan Korupsi
Lalu, ketika bangsa kita penuh bencana akhir-akhir ini, bagaimana kita mampu mengaktualisasikan nilai-nilai semangat kurban tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermakna luas bagi perbaikan kondisi bangsa Indonesia yang terus-menerus dilanda bencana?

Di sini terdapat kesinambungan pelajaran yang diwariskan Ibrahim kepada masyarakat zaman sekarang. Bahwa kesediaan manusia untuk berkurban mestinya jauh melampaui daripada sekadar menyembelih kambing atau hewan ternak lainnya. Adalah dengan berkurban tidak melakukan korupsi demi teratasi bencana bangsa secara nasional.

Tidak hanya itu. Semangat berkurban –dengan tidak hanya menyembelih hewan ternak- sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang yang sedang diuji Allah dengan banyak malapetaka. Bencana dari Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo merupakan bencana “kecil”.

Masih banyak bencana besar berupa problem sosial warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak putus sekolah, minyak mahal tak terjangkau rakyat, beras langka sehingga (di)mahal(kan) atau kualitas kesehatan masyarakat yang menurun karena ketidakmampuan mereka mengakomodasi biaya pengobatan yang melonjak dari hari ke hari, memerlukan kurban berupa solideritas seluruh elemen bangsa untuk mengatasinya dengan cara tidak melakukan korupsi.

Akhirulkalam, sesungguhnya kemunculan bencana merupakan sebab yang lahir akibat tindakan bangsa Indonesia sendiri yang Buta mata dan tipis telinga karena dikuasai hawa nafsu kebinatangan yang ada dalam dirinya. Dalam konteks kebangsaan, semangat berkorban untuk menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing menjadi sesuatu yang amat penting guna menjaga dan menjauhkan bangsa Indonesia dari bencana alam maupun bencana sosial. Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Yusuf Chuldori adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Ketua DPW PKB Jawa Tengah

Menggembleng Jasmani dan Rohani

Di bulan suci Ramadhan, gerakan keberagamaan umat Islam menggeliat dahsyat. Hal ini tercermin melalui aktivitas umat yang di-cover beragam media, baik cetak maupun elektronik. Ada kesan kuat umat saling berlomba menjadi manusia paling shaleh, sesuai perintah Allah SWT agar berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Komunitas Muslim di berbagai tempat membanjiri masjid, mushala, dan majelis taklim. Alunan suara tadarrus al-Qur’an menggema dari pengeras suara. Orang-orang yang kelebihan harta berlomba menyediakan makanan buka puasa. Mereka terlihat pemurah dengan jalan mudah berderma kepada fakir miskin.
Mengikuti pergerakan keberagamaan tersebut, teve tidak mau ketinggalan. Program acara agama dengan modifikasi dan kompromi budaya pop menjadi trend untuk sementara waktu. Ada ceramah agama dalam setting masjid, taman, dan kafe. Kebanyakan sinetron bertema religius. Ada humor Ramadhan menjelang sahur. Hampir semua teve menyajikan pengajian menjelang maghrib. Di radio beragam program agama bermunculan: kultum (kuliah tujuh menit), kutipan cerita sahabat, kutipan hadits/ayat, sandiwara bertema Ramadhan, dan lagu-lagu rohani diputar berkali-kali. Suasana di atas jarang kita jumpai pada bulan-bulan lain.
Bagi sebagian orang, pergerakan keberagamaan tersebut cukup menggembirakan. Namun jika diperhatikan isi acara-acara keagamaan yang ada, sebagian masih memprihatinkan. Banyak hal membuat miris karena kental nuansa formalistik dan simbolik. Padahal ketika ibadah hanya berhenti secara formalistik dan simbolik sama dengan memiskinkan makna ibadah itu sendiri.
Pada titik ini, ritual keagamaan semacam itu dapat ditangkap sebagai topeng bagi wajah yang sesungguhnya (buruk). Sebab kekhusyuan simbolik hanya menjadi bedak wajah (Jawa: pupur rai) agar terlihat cantik secara agama alias tidak meresap ke dalam relung kalbu. Hal ini sering disebut sebagai upaya mempertuhankan simbol agama. Kenapa kita mudah berlaku percuma dengan mempertuhankan simbol? Karena kita mudah silau dengan kemasan dan selalu ingin cepat mendapat sesuatu tanpa mau bersusahpayah mendalami ilmunya. Lalu, bagaimana cara beribadah di bulan Ramadhan agar menjadi tidak simbolik? Ya latihan bersungguh ibadah.
Ada empat makna puasa sebagai latihan agar ibadah tidak menjadi simbolik. Pertama, latihan memahami kaidah dan hikmah yang terkandung di balik ibadah tersebut. Jalan terbaiknya belajar dari orang-orang yang mengetahui. Ulama salaf mengingatkan: “Barangsiapa yang beramal tetapi tidak mengetahui ilmunya maka amalnya akan tertolak.” Karena itu sebelum beramal kita mesti belajar ilmu agama yang tidak terbatas pada ustadz atau pesantren. Tetapi bisa belajar melalui buku, media massa, dan internet. Dengan demikian ibadah tidak sekedar ritual tetapi menghayati nilai-nilai yang bersemayam di dalamnya.
Kedua, latihan istiqamah (Jawa: ajeg) dalam mengerjakan ibadah. Sebuah pekerjaan yang dilaksanakan dengan istiqamah akan melahirkan kebiasaan, dan selanjutnya menjadi karakter pribadi. Ibadah yang mampu menempa diri mengubahnya menjadi kepribadian yang mulia. Dengan intensif beribadah mengantarkan hati dan jiwa untuk selalu di jalan-Nya. Upaya pembiasaan ibadah selama satu bulan akan mengubah paradigma keberagamaan. Dari beragama secara simbolik menuju beragama penuh nilai dan makna.
Ketiga, latihan meninggalkan hawa nafsu negatif (an-nafs al-lawamah) selama beribadah agar mengantar ke perubahan sikap mental. Keinginan maksiat merupakan godaan yang jarang bisa dihindari di bulan lain. Tetapi di bulan Ramadhan, karena sebagian besar masyarakat menjalankan ibadah puasa, maka kita sebagai bagian dari masyarakat itu, lebih mudah untuk menolak hawa nafsu karena lingkungan mendukung. Mental yang sebelumnya lemah dan mudah tergoda bisa kokoh seperti batu karang.
Keempat, latihan beribadah mandiri (riyadlah). Ramadhan merupakan rempat belajar menghadapi realitas hidup untuk bulan-bulan berikutnya. Ramadhan mengajak kita merasakan derita fakir miskin. Kepekaan sosial kita diuji sehingga sadar bahwa kehidupan tidak selamanya harus selalu sukses. Kita bisa berjaya di puncak kesuksesan, sebaliknya bisa terpuruk di kelas terbawah di mana sangat memerlukan bantuan orang lain. Di sinilah pentingnya kesadaran berbagi kepada sesama.
Dengan empat latihan (penggemblengan) di bulan Ramadhan itu, yang asalnya jelek menjadi baik, yang asalnya hina menjadi mulia. Apabila latihan-latihan seperti itu bisa dilakukan di bulan lain, maka itulah pelajaran yang diharap, agar usai Ramadhan iman tidak putus di tengah jalan. Apabila puasa, tadarrus, dan shalat malam dilakukan di luar Ramadhan, ketika tujuan yang diharapkan juga sama, yaitu sama-sama demi iman dan takwa, maka nilai-nilai Ramadhan bisa kita raih di luar Ramadhan.
Akhirul kalam, puasa bertujuan mencetak umat bertakwa. Amaliah Ramadhan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tadarrus al-Qur’an, sadaqah, dan ibadah sunnah lainnya dicipta untuk menggembleng jasmani dan rohani menuju insan kamil (manusia seutuhnya) dan insan muttaqin (manusia bertaqwa).
Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT sehingga mampu mengubah perilaku dan mental kita dari pesimis menjadi optimis lalu berjiwa kuat seperti Rasulullah SAW. Amin.*

Mengenal Gus Yusuf

K.H Muhammad Yusuf Chudlori di tengah-tengah masyarakat lebih dikenal dengan sebutan khas kaum pesantren, yakni Gus Yusuf. Sebutan ini didasarkan oleh faktor kesejarahan atau latar belakang beliau yang merupakan salah satu dari sebelas putra dan putri ulama kharismatik Tegalrejo Magelang al-marhum al-magfurlah K.H Chudlori (w.1977), pendiri (muasis) Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang yang didirikan pada tahun 1944 M. Pada tahun 2008 ini Ponpes tersebut memiliki ± 3.500 santri putra dan ± 2.500 santri putri.
Gus Yusuf yang lahir di Magelang pada 9 Juli 1973 ini sangat terkenal sebagai kiai muda yang dekat dengan berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan selain beliau mengasuh pesantren, memberikan hikmah-hikmah keagamaan kepada masyarakat di berbagai majlis ta’lim, juga masih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perjuangan sosial-kemasyarakatan.
Diantara perjuangan sosial-kemasyarakatan yang digeluti oleh beliau adalah, mengelola komunitas kesenian-kesenian tradisional yang ada di Kab. Magelang, penasehat organisasi Komunitas Gerakan Anti Narkoba dan Zat Adiktif (KOMGANAZ) Kab. Magelang, mengelola radio komunitas (Fast-FM) yang menyiarkan program-program populis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, mulai dari kajian keagamaan, mujahadah, berita-berita aktual, konsultasi kesehatan, bincang bisnis, infotainment, dsb.
Walaupun Gus Yusuf berlatar belakang pendidikan pesantren tapi beliau sangat dekat dengan para aktifis muda dan aktifis mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan formal (sekolahan). Kedekatan ini dapat terjalin karena Gus Yusuf adalah kiai yang terbuka (egaliter) untuk berdiskusi dengan kalangan aktifis muda sebagai upaya mengurai kenyataan yang selalu berkembang seiring dengan lajunya zaman.
Aktifitas dengan kalangan muda dan mahasiswa diantaranya dapat dilihat dari seringnya beliau terlibat dalam forum-forum diskusi kaum muda NU Jawa Tengah, bahkan beliau adalah salah satu penggagas dari forum-forum diskusi di kalangan kaum muda NU tersebut. Dalam jumlah yang tidak terhitung, beliau juga sering diminta mengisi seminar, talk show, dan bentuk diskusi lainnya mulai dari tingkat lokal, nasional sampai tingkat internasional, terutama dalam forum-forum diskusi yang mengangkat tema seputar pluralisme, toleransi antar umat beragama, kebudayaan, tasawuf, dan peneguhan nilai-nilai kebangsaan.
Latar Belakang Keilmuan
Dalam bidang keilmuan, pada usia dini sampai usia SD, Gus Yusuf menempa ilmu di pondok pesantren ayahnya. Selanjutnya beliau menempa diri dalam ilmu agama pada beberapa pondok pesantren. Tahun 1985-1994, Gus Yusuf nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur di bawah asuhan KH Idris Marzuki. Selanjutnhya beliau menengguk ilmu di Pesantren Salafiyah Kedung Banteng Purwokerto, terakhir Gus Yusuf memperdalam ilmu keagamaan di Pesantren Salafiyah Bulus, Kebumen.
Karena latar pendidikan pesantren inilah, maka transformasi kelimuan melalui tradisi lisan (tutur) sudah menjadi bagian dari diri suami Vina Rohmatul Ummah (22) ini. Selain menyampaikan ilmunya di Pesantren API Tegalrejo (asuhannya), beliau juga sering berceramah di banyak majlis ta’lim, serta di radio Fast FM kelolaannya yang beralamat di Jl. K.H Hasyim Asy’ary No. 7 Pagotan Tegalrejo Magelang. Jadi, dalam hal berpanjang-panjang kata lewat lisan, kepiawaiannya tak usah diragukan.
Belakangan, Gus Yusuf yang merupakan ayah dari Ahmad Haikal Tanjani Khumaid (6), Yusfina Zahru Tsania (4), dan Aqila Alaya Sya’an (1,5) itu begitu antusias mengembangkan konsep tasawuf yang berdimensi sosial. Hal tersebut paling tidak bisa dilihat dari dakwah-dakwahnya yang disampaikan lewat siaran di radionya. Selain itu, beliau juga sangat gandrung pada persoalan kebudayaan. Kedekatannya dengan kalangan budayawan seperti Gus Mus, Cak Nun, Romo Kirjito, Tanto Mendut, Slamet Gundono, dan banyak lagi yang lain merupakan bukti dari kegandrungannya terhadap dunia kebudayaan.
Kecintaannya dengan dunia kebudayaan tersebut juga menjadi pilihan metode dakwah keagamaan beliau, yakni berdakwah dengan pendekatan ala Sunan Kalijaga. "Orang mungkin menganggap tasawuf itu sesuatu yang elitis dan sukar dipahami. Padahal kalau didedah secara sederhana dan diaplikasikan dalam dimensi kemasyarakatan, pasti akan mudah dipahami. Pola-pola dakwah Sunan Kalijaga tidak sedikit kandungan tasawufnya. Dan itu masih relevan untuk zaman sekarang." Tutur beliau penuh keyakinan.
Berjuang untuk Kepentingan Umat
Siklus zaman yang sedang sampai pada upaya demokratisasi sistem kehidupan di negeri ini, yang ditandai dengan terjadinya gerakan reformasi pada 1998, membangkitkan ghirah Gus Yusuf untuk bersama-sama dengan umat berjuang meningkatkan harkat hidup, merdeka, sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Dalam situasi bangsa yang dilanda krisis demikian akut sejak tahun 1997 ini, maka pilihan politik untuk perjuangan keumatan harus segera dijatuhkan.
Berangkat dari realitas sejarah bahwa selama kurang lebih 32 tahun negeri ini telah dikuasai oleh rezim otoriter, sehingga rakyat kebanyakan dibungkam hak-haknya untuk berekspresi, berpendapat, berkumpul, apalagi mengaktualisasikan ide-idenya dalam gerakan perjuangan. NU sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang mayoritas hidup di pedesaan dalam tradisi pesantren juga telah dimatikan peran politik keumatan dan kebangsaannya. Maka, momentum reformasi menjadi titik awal kaum ’sarungan’ untuk bangkit kembali dengan didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh para ulama kharismatik pada 23 Juli 1998. Jejak para ulama inilah yang telah membangkitkan semangat Gus Yusuf untuk mengabdikan tenaga dan pikirannya dalam perjuangan politiknya melalui Partai Kebangkitan Bangsa.
Politik bagi Gus Yusuf adalah sebagaimana makna politik dalam Islam. Dalam Islam politik disebut dengan istilah Siyasyah (Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif. Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah" (kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).
Gus Yusuf menemukan makna perjuangan politik di atas dalam Partai Kebangkitan Bangsa, karena PKB memiliki kriteria tentang kesejahteraan umat (al-maslahah al-'ammah), yaitu: (1) kemaslahatn itu bersifat esensial: kepentingan yang secara praksis-operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan; (2) maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata individu; dan (3) maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash.
Selain kriteria kesejahteraan umat di atas, yang menjadikan Gus Yusuf ’se-hati’ dengan cita-cita politik PKB adalah kandungan mabda’ siyasy (prinsip-prinsip dasar politik) PKB, yakni menjamin hak-hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh kebijakan pemerintah. Hak-hak dasar tersebut adalah: (1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45; (2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs); (3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl); (4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan (5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql).
Mengembalikan Kedekatan PKB dengan Basis
Prinsip-prinsip perjuangan di ataslah yang menjadikan Gus Yusuf sampai hari ini masih mencurahkan tenaga dan gagasan-gagasannya di partai yang dilahirkan oleh Ormas Islam terbesar (NU) ini. Kiprahnya di dunia politik semata-mata dimaknai sebagai manifestasi diri sebagai insan yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memperjuangkan keharmonisan dan keadilan dalam menata hidup secara kolektif. Beliau tidak pernah sama sekali berkeinginan untuk menjadi anggota legislatif atau bahkan kepala daerah.
"Untuk hidup keluarga saya, alhamdulillah saya masih cukup secara ekonomis. Saya masih punya sawah yang bisa digarap, sedikit-sedikit saya juga sudah mulai berwira usaha. Hal ini saya lakukan agar saya tidak mudah tergiur oleh ’kue-kue’ politik dan pragmatisme sesaat." Tutur Gus Yusuf.
Keteguhan komitmen beliau inilah yang memunculkan kepercayaan dari warga PKB sehingga pada tahun 1999–2007 beliau dipercaya memimpin DPC PKB Kab. Magelang. Setelah berkhidmat di DPC PKB Kab. Magelang selanjutnya Gus Yusuf ditunjuk oleh DPP PKB melalui keputusan rapat pleno DPP PKB pada 1 Mei 2007 untuk menjadi Pjs Ketua Dewan Tanfizd DPW PKB Jawa Tengah mengggantikan posisi Abdul Kadir Karding yang ditarik sebagai pengurus DPP PKB.
Transisi struktural yang terjadi di PKB Jawa Tengah dengan pengangkatan Abdul Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus Yusuf menyampaikan “Di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni transisi struklural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat, pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural. Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai menjadi tersisihkan.
Ketika proses sudah berjalan secara alamiah, dengan pengangkatan dirinya sebagai Pjs ketua DPW PKB Jateng, Gus Yusuf menilai bahwa ini adalah amanat. Ketika ditanya apa visi politiknya untuk membawa PKB Jateng ke depan, Gus Yusuf menjelaskan bahwa PKB tetap harus meneguhkan sebagai partai yang bergerak dijalur kultural, karena basis PKB memang dari akar rumput (grass root). “PKB tetap harus berjalan seiring dengan para kiai, karena memang beliau-beliau itu yang mendirikan PKB untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini” tutur Gus Yusuf menegaskan arah perjuangan PKB Jawa Tengah ke depan. [jf]

Visi Politik Santri

K.H Yusuf Khudlori (Gus Yusuf) Pjs. Ketua Umum Dewan Tanfidz DPW PKB Jawa Tengah menyampaikan gagasan politiknya untuk membawa PKB Jateng menjadi partai yang kuat baik dari structur maupun cultur-nya.
PKB Jateng yang akhir-akhir ini mengalami transisi struktural, dengan pengangkatan Abdul Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus Yusuf menyampaikan “di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni transisi structural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat, pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural. Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai menjadi tersisihkan.
Dalam konteks transisi struktural yang seolah-olah menghadap-hadapkan antara Abdul Kadir Karding dengan Gus Yusuf sebagai pesaing untuk menjadi orang nomor satu di PKB Jawa Tengah, Gus Yusuf menyatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa ada masalah dengan Abdul Kadir, apalagi berniat mengganti posisinya sebagai ketua DPW. “Ketika diundang oleh Gus Dur saya sudah menyampaikan kepada beliau bahwa saya tidak akan mempersoalkan struktur kepengurusan DPW Jateng di bawah kepemimpinan saudara Kadir Karding”, tandasnya.Ketika proses sudah berjalan secara alamiah, dengan pengangkatan dirinya sebagai pengurus DPW dan disiapkan menjadi Pjs ketua DPW PKB Jateng, Gus Yusuf menganggap bahwa ini adalah amanat. Ketika ditanya apa visi politiknya untuk membawa PKB Jateng ke depan, Gus Yusuf menjelaskan bahwa PKB tetap harus meneguhkan sebagai partai yang bergerak dijalur kultural, karena basis PKB memang dari akar rumput (grass root). “PKB tetap harus berjalan seiring dengan para kiai, karena memang beliau-beliau itu yang mendirikan PKB untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini” tuturnya. [jf]

Fiqih Tanya Jawab, dari Mbah Sahal sampai ke Gus Yusuf

Oleh: Kholilul Rohman Ahmad

Ulama kharismatik dengan segundang ilmu keagamaan merupakan modal sosial tak terbatas bagi penulisan buku karena dapat dimanfaatkan sebagai pijakan pengambilan hukum oleh pengikutnya. Fiqih, ilmu cabang dalam Islam yang berkaitan erat dengan tatacara ibadah, selalu mendapatkan tempat teratas dalam kehidupan masyarakat agama Islam.
Sebab fiqih merupakan kebutuhan sehari-hari umat Muslim untuk panduan beribadah shalat, zakat, puasa, dan haji. Belum lagi kaitan dengan tatacara wudlu, hadats, najis, mengelola jenazah, menyucikan pakaian, dan menyucikan hadats dalam tubuh. Hukum halal-haram terhadap persoalan tertentu seperti jual-beli. Intinya, dalam Islam fiqih merupakan ilmu teknis yang banyak dimanfaatkan penganut Muslim.
Buku tanya-jawab persoalan keagamaan selalu berkembang dan mengalami perbaikan (revisi) terhadap buku-buku sebelumnya yang pernah ada. Perkembangan buku tanya-jawab dapat ditelisik dengan tiga pendekatan:
Pertama, buku tanya jawab fiqih akan selalu mengalami perkembangan persoalan yang harus dipecahkan setiap zaman, kecuali pada bahasan-bahasan yang sudah baku. Ketika KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) masih hidup, tidak ada persoalan nuklir yang masuk dalam pembahasan fiqih. Berdasarkan hasil-hasil muktamar NU tahun 1948-1970-an, pembahasan yang masuk dalam forum bahtsul masail muktamar NU sebagian besar berkaitan dengan ibadah mahdhah (pribadi), seperti shalat, wudlu, najis, shalat musafir, menjamak shalat, mengurus jenazah, dll.
Namun kenyataan sosial modern mengharuskan fiqih bersikap terhadap nuklir, seperti kontroversi PLTN di Jepara yang memaksa fiqih bersikap halal, haram, mubah, atau makruh. Alhasil, perkembangan zaman selalu memberi kesempatan kepada penerbit untuk memperkaya buku fiqih tanya-jawab yang bisa dipakai alasan untuk mencetak ulang buku terdahulu dengan versi ‘edisi revisi’.
Kedua, tokoh/kiai pencetus buku tanya-jawab yang dipakai rujukan juga ikut berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku tersebut. Meskipun, misalnya, tokoh yang pernah menulis buku fiqih tanya jawab seperti Mbah Sahal (KH Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh, Rais ‘Am PBNU), Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), atau Gus Yusuf (KH M Yusuf Chudlori) yang cover-nya terpampang disini, substansi persoalan yang dibahas di dalamnya tidak mempunyai perbedaan mendasar kecuali redaksi yang berbeda.
Namun buku-buku ini sama-sama laris karena pembaca mempunyai fanatisme tersendiri terhadap tokoh/ulama. Karena pembeli mempunyai ikatan emosional sendiri-sendiri dengan tokoh yang ada dalam buku. Patut dicatat, rujukan kitab kuning yang dipakai ketiga buku ini juga sama kualitasnya dan sama-sama laku.
Ketiga, buku fiqih tanya-jawab mempunyai segmen pembaca yang sangat luas (untuk kalangan umat Islam). Luasnya segmen pembaca ini berkaitan dengan tempo generasi pembaca Muslim yang cepat berkembang. Setiap generasi membutuhkan sejumlah bacaan fiqih yang praktis yang meniscayakan penerbit selalu mencetak ulang karena pembaca umum tidak mungkin membaca kitab-kitab kuning berbahasa Arab. Terlebih wacana fiqih di dalamnya bersifat baku tidak akan pernah mengalami perubahan.
Misalnya, sepanjang hayat kotoran ayam pasti hukumnya najis, jenazah wajib dimandikan-dikafani-dishalati-dikubur, shalat fardlu lima waktu sehari, sehabis buang air besar/kecil wajib bersuci, dan lain-lain. Hal inilah yang memungkinkan buku fiqh tanya jawab selalu aktual dan selalu diburu orang banyak –sepanjang pemeluk Islam di Indonesia mayoritas.
Demikian halnya dengan buku terjemahan kitab kuning jenis fiqih, tasawuf, aqidah, atau ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah) yang beredar di masyarakat, khususnya kalangan pesantren, memiliki daya laku yang kuat. Buku jenis terjemahan kitab kuning sangat laku di kalangan pesantren karena membantu santri untuk memperdalam kitab yang dikaji yang berbahasa Arab.
Buku-buku seperti ini, mungkin, bagi kalangan pengkaji wacana berat (intelektuil) tidak termasuk dalam perhitungan karena termasuk wacana lama. Apalagi redaktur resensi buku, pasti tidak akan melirik resensi buku ini karena wacananya termasuk ketinggalan zaman –maklum, setiap redaktur membutuhkan aktualitas.
Namun demikian bagi penerbit, bukan persoalan wacana usang, kenyataan di pasar buku jenis ini laku keras, alias selalu mengalami cetak ulang minimal setahun sekali, maka tetap berlanjut perbaikan demi perbaikan dan cetak demi cetak. Contoh buku jenis ini terjemahan Nashaihul Ibad, Riyadush Sholihin, Alfiyah Ibnu Malik, dan Kifayatul Akhyar.
Bagaimanapun juga dunia buku tidak selamanya akan berhenti pada jenis buku bertema tertentu. Perpaduan antara buku-buku dengan wacana lama dengan yang baru sama-sama mendapatkan respon pasar yang bagus. Tergantung bagaimana penerbit akan memperlaklukan pasar dengan permainan tema yang akan diluncurkan.
Buku fiqih tanya-jawab ala Mbah Sahal, Gus Mus, dan Gus Yusuf merupakan sebagian jenis buku yang laku keras di pasaran dengan indikasi frekuensi cetak ulang terjadi minimal setahun sekali, dan mayoritas laku terjual di wilayah Jawa Tengah. Fenomena ini mungkin bisa memberi informasi sekaligus inspirasi bagi penerbit di luar Jawa Tengah untuk menerbitkan buku semacam ini, dengan tokoh/ulama setempat. Sebab emosionalitas dan fanatisme kewilayahan terhadap tokoh berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku jenis ini.

Kholilul Rohman Ahmad, Pustakawan peminat masalah sosial keagamaan tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah
Telpon 0293-5503195, 081328632590

Menggembleng Jasmani dan Rohani

Oleh Muhammad Yusuf Chudlory

Di bulan suci Ramadhan, gerakan keberagamaan umat Islam menggeliat dahsyat. Hal ini tercermin melalui aktivitas umat yang di-cover beragam media, baik cetak maupun elektronik. Ada kesan kuat umat saling berlomba menjadi manusia paling shaleh, sesuai perintah Allah SWT agar berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Komunitas Muslim di berbagai tempat membanjiri masjid, mushala, dan majelis taklim. Alunan suara tadarrus al-Qur’an menggema dari pengeras suara. Orang-orang yang kelebihan harta berlomba menyediakan makanan buka puasa. Mereka terlihat pemurah dengan jalan mudah berderma kepada fakir miskin.
Mengikuti pergerakan keberagamaan tersebut, teve tidak mau ketinggalan. Program acara agama dengan modifikasi dan kompromi budaya pop menjadi trend untuk sementara waktu. Ada ceramah agama dalam setting masjid, taman, dan kafe. Kebanyakan sinetron bertema religius. Ada humor Ramadhan menjelang sahur. Hampir semua teve menyajikan pengajian menjelang maghrib. Di radio beragam program agama bermunculan: kultum (kuliah tujuh menit), kutipan cerita sahabat, kutipan hadits/ayat, sandiwara bertema Ramadhan, dan lagu-lagu rohani diputar berkali-kali. Suasana di atas jarang kita jumpai pada bulan-bulan lain.
Bagi sebagian orang, pergerakan keberagamaan tersebut cukup menggembirakan. Namun jika diperhatikan isi acara-acara keagamaan yang ada, sebagian masih memprihatinkan. Banyak hal membuat miris karena kental nuansa formalistik dan simbolik. Padahal ketika ibadah hanya berhenti secara formalistik dan simbolik sama dengan memiskinkan makna ibadah itu sendiri.
Pada titik ini, ritual keagamaan semacam itu dapat ditangkap sebagai topeng bagi wajah yang sesungguhnya (buruk). Sebab kekhusyuan simbolik hanya menjadi bedak wajah (Jawa: pupur rai) agar terlihat cantik secara agama alias tidak meresap ke dalam relung kalbu. Hal ini sering disebut sebagai upaya mempertuhankan simbol agama. Kenapa kita mudah berlaku percuma dengan mempertuhankan simbol? Karena kita mudah silau dengan kemasan dan selalu ingin cepat mendapat sesuatu tanpa mau bersusahpayah mendalami ilmunya. Lalu, bagaimana cara beribadah di bulan Ramadhan agar menjadi tidak simbolik? Ya latihan bersungguh ibadah.
Ada empat makna puasa sebagai latihan agar ibadah tidak menjadi simbolik. Pertama, latihan memahami kaidah dan hikmah yang terkandung di balik ibadah tersebut. Jalan terbaiknya belajar dari orang-orang yang mengetahui. Ulama salaf mengingatkan: “Barangsiapa yang beramal tetapi tidak mengetahui ilmunya maka amalnya akan tertolak.” Karena itu sebelum beramal kita mesti belajar ilmu agama yang tidak terbatas pada ustadz atau pesantren. Tetapi bisa belajar melalui buku, media massa, dan internet. Dengan demikian ibadah tidak sekedar ritual tetapi menghayati nilai-nilai yang bersemayam di dalamnya.
Kedua, latihan istiqamah (Jawa: ajeg) dalam mengerjakan ibadah. Sebuah pekerjaan yang dilaksanakan dengan istiqamah akan melahirkan kebiasaan, dan selanjutnya menjadi karakter pribadi. Ibadah yang mampu menempa diri mengubahnya menjadi kepribadian yang mulia. Dengan intensif beribadah mengantarkan hati dan jiwa untuk selalu di jalan-Nya. Upaya pembiasaan ibadah selama satu bulan akan mengubah paradigma keberagamaan. Dari beragama secara simbolik menuju beragama penuh nilai dan makna.
Ketiga, latihan meninggalkan hawa nafsu negatif (an-nafs al-lawamah) selama beribadah agar mengantar ke perubahan sikap mental. Keinginan maksiat merupakan godaan yang jarang bisa dihindari di bulan lain. Tetapi di bulan Ramadhan, karena sebagian besar masyarakat menjalankan ibadah puasa, maka kita sebagai bagian dari masyarakat itu, lebih mudah untuk menolak hawa nafsu karena lingkungan mendukung. Mental yang sebelumnya lemah dan mudah tergoda bisa kokoh seperti batu karang.
Keempat, latihan beribadah mandiri (riyadlah). Ramadhan merupakan rempat belajar menghadapi realitas hidup untuk bulan-bulan berikutnya. Ramadhan mengajak kita merasakan derita fakir miskin. Kepekaan sosial kita diuji sehingga sadar bahwa kehidupan tidak selamanya harus selalu sukses. Kita bisa berjaya di puncak kesuksesan, sebaliknya bisa terpuruk di kelas terbawah di mana sangat memerlukan bantuan orang lain. Di sinilah pentingnya kesadaran berbagi kepada sesama.
Dengan empat latihan (penggemblengan) di bulan Ramadhan itu, yang asalnya jelek menjadi baik, yang asalnya hina menjadi mulia. Apabila latihan-latihan seperti itu bisa dilakukan di bulan lain, maka itulah pelajaran yang diharap, agar usai Ramadhan iman tidak putus di tengah jalan. Apabila puasa, tadarrus, dan shalat malam dilakukan di luar Ramadhan, ketika tujuan yang diharapkan juga sama, yaitu sama-sama demi iman dan takwa, maka nilai-nilai Ramadhan bisa kita raih di luar Ramadhan.
Akhirul kalam, puasa bertujuan mencetak umat bertakwa. Amaliah Ramadhan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tadarrus al-Qur’an, sadaqah, dan ibadah sunnah lainnya dicipta untuk menggembleng jasmani dan rohani menuju insan kamil (manusia seutuhnya) dan insan muttaqin (manusia bertaqwa).
Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT sehingga mampu mengubah perilaku dan mental kita dari pesimis menjadi optimis lalu berjiwa kuat seperti Rasulullah SAW. Amin.*

Ritual Kurban dalam Bencana

Oleh Muhammad Yusuf Chudlori

Bagi bangsa Indonesia, kehadiran Hari Raya Idul Adha dan ritual Kurban tahun ini dengan variasi bencana mulai Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo, memiliki makna penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran dan makna agama.

Ritual Kurban merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universal Islam. Sementara bencana alam dan sosial yang mendera rakyat merupakan simbol wahyu Allah yang diturunkan kepada bangsa Indonesia agar merenungkan kembali atas perilaku-perilaku negatif yang sering diperbuat.

Al Quran menyeru umat Islam untuk menyelenggarakan ritual Kurban dengan menyembelih binatang unta atau lainnya, seperti sapi, kerbau, dan kambing, untuk dibagikan dagingnya kepada orang-orang miskin. Perintah Allah dalam Surat 22:36-37 yang artinya, "Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik".

Ajaran Monoteisme Ibrahim
Makna Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran monoteisme Nabi Ibrahim AS yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri.

Tanpa Allah, yang ada hanya kekacau-balauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang (Abd A'la: 2003). Mungkin karena bangsa ini melupakan Allah dengan berperilaku korup, maka bencana didatangkan oleh Allah secara bertubi. Padahal dengan Idul Adha umat manusia diberi hak untuk melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempitnya sehingga dapat "menjumpai" Allah setiap saat.

Ritual Kurban juga melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Wahyu Allah kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yang lalu diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh melakukan korupsi atau serakah menggunakan uang rakyat, meskipun uang darinya dipergunakan untuk berhaji, bersedekah, dan menyantuni anak yatim. Nilai-nilai yang merepresentasikan kedermawanan dalam ritual Kurban dalam Idul Adha perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan dengan cara mendermakan uang yang benar-benar hasil jerih payah.

Seharusnya pengertian ini kita tangkap setiap waktu sebab setiap tahun umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Hari raya tersebut merupakan peringatan atas pengalaman rohani Ibrahim, nenek moyang agama monoteis dan Semitik, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman rohani tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia.

Bila kita telusuri perintah berkurban dan berhaji dari latar belakang turunnya perintah tersebut hingga tata cara pelaksanaannya, akan kita temukan beberapa simbolisasi yang begitu indah dan agung tentang dimensi kemanusiaan atau ukhuwah insaniyah.

Ibrahim, melalui mimpi yang haq, menerima perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as. Singkat cerita, setelah mendiskusikan mimpinya kepada putra tercintanya, Ismail, dan istrinya, Siti Hajar, Ibrahim berhasil membunuh "berhala" rasa cinta kepada anaknya, bahkan malah memperoleh ridha Allah, yang menganugerahinya seekor kambing sebagai hewan kurban sehingga Ismail selamat.

Pengurbanan Ibrahim dan Ismail dalam menjalankan perintah Allah tersebut memiliki makna luar biasa dalam kehidupan manusia. Betapa tidak? Kesediaan berkurban yang dilakukan Ibrahim sejatinya bermuara pada bentuk atau perwujudan kepedulian sosial (Nurcholish Madjid: 2004).

Apalagi, sebagaimana kita ketahui, dari peristiwa yang dialami Ibrahim tersebut muncul perintah Allah kepada umat Islam untuk menyembelih hewan kurban. Pengurbanan dengan memotong hewan ternak adalah perwujudan kepedulian sosial. Mengapa hewan ternak? Sebab, pada zaman Ibrahim, kepemilikan terhadap hewan ternak merupakan pertanda atau lambang kekayaan tertinggi dari seseorang.


Tidak Melakukan Korupsi
Lalu, ketika bangsa kita penuh bencana akhir-akhir ini, bagaimana kita mampu mengaktualisasikan nilai-nilai semangat kurban tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermakna luas bagi perbaikan kondisi bangsa Indonesia yang terus-menerus dilanda bencana?

Di sini terdapat kesinambungan pelajaran yang diwariskan Ibrahim kepada masyarakat zaman sekarang. Bahwa kesediaan manusia untuk berkurban mestinya jauh melampaui daripada sekadar menyembelih kambing atau hewan ternak lainnya. Adalah dengan berkurban tidak melakukan korupsi demi teratasi bencana bangsa secara nasional.

Tidak hanya itu. Semangat berkurban –dengan tidak hanya menyembelih hewan ternak- sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang yang sedang diuji Allah dengan banyak malapetaka. Bencana dari Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo merupakan bencana “kecil”.

Masih banyak bencana besar berupa problem sosial warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak putus sekolah, minyak mahal tak terjangkau rakyat, beras langka sehingga (di)mahal(kan) atau kualitas kesehatan masyarakat yang menurun karena ketidakmampuan mereka mengakomodasi biaya pengobatan yang melonjak dari hari ke hari, memerlukan kurban berupa solideritas seluruh elemen bangsa untuk mengatasinya dengan cara tidak melakukan korupsi.

Akhirulkalam, sesungguhnya kemunculan bencana merupakan sebab yang lahir akibat tindakan bangsa Indonesia sendiri yang Buta mata dan tipis telinga karena dikuasai hawa nafsu kebinatangan yang ada dalam dirinya. Dalam konteks kebangsaan, semangat berkorban untuk menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing menjadi sesuatu yang amat penting guna menjaga dan menjauhkan bangsa Indonesia dari bencana alam maupun bencana sosial. Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Yusuf Chuldori adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Ketua DPW PKB Jawa Tengah

Gus Yusuf - haul pertama wafatnya Gus Dur di Ciganjur

USIANYA belum genap 40 tahun. Perawakannya ceking, berpenampilan kalem, murah senyum, selalu memakai kopyah hitam dan berambut panjang sebahu. Dia biasa dipanggil Gus Yusuf, lengkapnya KH. Yusuf Khudhori. Dia kini menjadi pengasuh sebuah pesantren yang cukup tua di Magelang. Masyarakat menyebutnya Pesantren Tegal Rejo. Ada juga yang menyebut Pesantren API (Asrama Perguruan Islam).  Gus Yusuf adalah putera Kiai Khudhori, seorang kiai yang sangat dihormati, dimana Gus Dur pernah menjadi santrinya.
Malam itu (30/12/10) Gus Yusuf menjadi bintang dalam haul pertama wafatnya Gus Dur di Ciganjur. Setelah ritual baca tahlil, Ratib Haddad dan surat Yasin selesai, beberapa tokoh memberi tausiyah. Malam itu ada sahabat dekat Gus Dur, Mahfud MD yang mendadak dipanggil kiai haji. Gus Yusuf mendapat giliran bicara berikutnya. Dengan duduk bersila, suara bariton yang teratur, kalimat tertata sambil diselingi guyonan khas pesantren, Gus Yusuf mulai membius ribuan orang yang datang malam itu.
Gus Yus bicara tidak lebih dari 30 menit. Namun, dalam waktu yang pendek itu dia berhasil menyampaikan pesan-pesan keagamaan dengan menggunakan Gus Dur sebagai ikonnya. "Kalau ada orang mengatakan Gus Dur itu rumit dalam beragama, bagi saya itu keliru". Demikian dia mulai membuka cerita. "Gus Dur itu orang yang sangat simple, sederhana dan tidak bertele-tele dalam beragama. Karena, sikap-sikap Gus Dur itu jelas dan tidak abu-abu".
Gus Yusuf juga menyampaikan satu cerita yang menurut pengakuannya sudah berulangkali diceritakan Gus Dur padanya. "Kadang saya bosen mendengarnya. Setiap kali sowan Gus Dur, ini terus yang disampaikan. Tapi kemudian saya renungkan, ternyata hal yang diceritakan Gus Dur itu sangat penting, sehingga pantas kalau terus diulang", kata Gus Yusuf.
Malam itu Gus Yusuf mengulang cerita Gus Dur ketika masih tinggal di Pesantren Tegal Rejo. Suatu hari, ada serombongan orang dari desa sebelah yang ingin bertemu Kiai Khudhori. Gus Dur yang kala itu masih menjadi santri diajak Kiai Khudhori untuk menemui tamu tersebut. Tamu itu mulai menceritakan masalahnya.
Di desa itu ada kekayaan sebagai hasil bondo deso. Warga bersitegang, akan digunakan untuk apa uang tersebut. Sebagian minta supaya uang tersebut digunakan untuk merenovasi masjid; dan sebagian lagi digunakan untuk membeli gamelan karena waktu itu kebetulan ada orang yang menjual seperangkat gamelan dengan harga murah.
Kiai Khudhori tahu bahwa orang-orang yang datang tersebut adalah kelompok orang yang menginginkan agar uang tersebut digunakan untuk merenovasi masjid. Mereka menduga, tokoh agama seperti Kiai Khudhori akan mendukung gagasan mereka. Tapi kiai Khudhori justru berpendapat sebaliknya, "uang tersebut sebaiknya dibelikan gamelan dahulu". Mengapa? Menurut Kiai Khudhori, melalui gamelan bisa dijadikan sarana untuk mengumpulkan banyak orang, termasuk yang belum sholat. "Di pertemuan itulah kita bisa memberi nasehat kepada mereka. Kalau orang sudah mau berkumpul, maka membangun masjid adalah sesuatu yang gampang", kata Kiai Khudhori.
Cerita sederhana yang sering disampaikan Gus Dur dan diulang lagi oleh Gus Yusuf tersebut menunjukkan betapa pesantren, yang diwakili Kiai Khudhori, begitu ramah dengan tradisi lokal yang disimbolisasi melalui gamelan.
Cerita lain yang dikemukakan Gus Yusuf adalah fenomena orang yang sering teriak takbir di jalan-jalan, di forum-forum pertemuan, bahkan takbir sering menjadi ungkapan kebencian. "Kenapa sih sekarang orang kok boros takbir. Sedikit-sedikit takbir. Kalau kiai-kiai dulu, takbir itu ya hanya waktu sholat atau wiridan", kata Gus Yusuf. Kalau dalam fiqih, orang yang mengulang-ulang perbuatan yang sama namanya orang was-was. Ada orang yang takbiratul ihram dalam sholat selalu diulang karena dia ragu apakah takbiratul ihram-nya sudah sah atau belum.
Dalam fiqih, orang yang was-was seperti itu dekat dengan setan, sehingga harus dijauihi. "Jangan-jangan orang yang suka takbir di jalan-jalan itu adalah orang yang was-was dan dekat dengan setan", sindir Gus Yusuf yang disambut tepuk tangan orang-orang yang hadir malam itu.
Dua cerita tersebut menunjukkan betapa sederhananya cara beragama kiai pesantren. Mereka tidak gila simbol Islam, tidak boros takbir. Cara beragama yang sederhana ini pelan-pelan mulai redup diganti dengan beragama yang suka hiruk pikuk.[Rumadi]

"Kewalian" Gus Dur Dibedah di Ajang Munas

Ketika Jalaluddin Rumi meninggal, kucing di rumahnya terlihat sedih berhari-hari, dan lalu meninggal pula. Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat, juga demikian, beberapa hari kemudian kucing di rumahnya meninggal, kata Kiai Husein Muhammad.

Dalam acara bedah bukunya yang berjudul “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur” yang diselenggarakan Intelektual Muhajirin NU (IMNU) Cirebon, di Yayasan Khatulistiwa Kempek, Ahad (16/9), ia membandingkan Gus Dur dengan Jalaluddin Rumi.

Kiai Husein mengatakan, situasi yang sosial politik yang melingkupi saat wafatnya wali besar Jalaluddin Rumi, dimana waktu itu banyak konflik, dimana keragaman terus diperjuangkan, tetapi konflik sosial juga sangat rawan. Ini sama persis dengan situasi sosial politik di saat Gus Dur wafat.

Pernyataan Kiai Husein ini dilontarkannya untuk menegaskan bahwa apa yang dilakukan Gus Dur selama ini memiliki dasar yang kuat dalam Islam, khususnya spiritualitas Islam.

“Buku Sang Zahid ini, sesungguhnya hasil refleksi saya atas kebersamaan saya dengan Gus Dur sejak 1997. Saat itu beliau mulai sakit-sakitan, stroke, saya paling tidak waktu itu dua kali sekali dalam sebulan berkunjung ke rumah beliau. Saya menyaksikan sendiri bagaimana Gus Dur berperilaku setiap hari,” demikian jelas Kiai Husein.

“Gus Dur bukanlah budayawan, bukan seorang pembela HAM, bukan pembela minoritas, bukan politikus, bukan pemikir Islam dan bukan ulama, tetapi Gus Dur adalah menjadi semuanya itu. Gus Dur selama ini banyak bergerak di berbagai bidang, dan memiliki effek bagi orang banyak. Apakah yang melandasi semua gerakan itu. Yang menggerakkannya adalah spiritualitas Gus Dur, yang memiliki rujukan pada spritualitas Islam (tasawuf),” katanya.

Gus Dur sering dianggap aneh, dan ucapannya baru dianggap benar, karena ternyata di kemudian hari ucapan Gus Dur malah terbukti. Hal ini sesuai dengan spiritualitas Ibnu Athaillah Sakandari dalam kita Hikamnya yang mengatakan bahwa bagi orang-orang suci yang dekat dengan Allah, kata-katanya bisa mendahului zamannya. Ini bukan sesuatu yang aneh menurutnya, karena sering juga dialami oleh para Wali Allah. Demikianlah Kiai Husein, secara panjang lebar menjelaskan tentang sisi-sisi kewalian Gus Dur.

Sementara itu pembanding, rektor IAIN Syeikh Nurdjati Cirebon, Prof Dr Maksum Mochtar, menyampaikan, tidak cukup untuk hanya mengagumi Gus Dur. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa seperti Gus Dur.

“Dan ini bisa saja, melalui pendidikan dengan basis penguatan neurosains mungkin saja kecerdasan kita bisa meningkat sebagaiman Gus Dur. Kita jangan lihat Gus Dur sekarang, tetapi lihatlah prosesnya menjadi sebesar itu.”

Pembanding lainnya, rektor ISIF, Prof Dr Chozin Nashuha, mengusulkan adanya pemetaan posisi Gus Dur di antara sufi-sufi besar yang ada.

“Mari kita lihat, bila dibanding dengan tokoh-tokoh sufi yang ada, maka Gus Dur itu adalah salah satu produsen pemikiran-pemikiran tasawuf, atau agen penyalur saja, ata bahkan hanya konsumen saja?” katanya, seraya melempar pertanyaan ke forum.

Kelitan Gus Dur dari Perangkap Dunia

Dunia dengan segala pernak-perniknya merupakan cobaan bagi setiap manusia. Dunia menampilkan aneka wajahnya untuk menggoda manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya; membulatkan hati semata kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Wanita, kekuasaan, harta, bahkan kedudukan spiritual seperti kewalian, menjadi umpan menggiurkan bagi kebanyakan orang. Umpan-umpan ini begitu efektif dalam memalingkan hati manusia dari Tuhan. Tidak sedikit hati manusia yang tertambat pada wajah-wajah dunia itu.

“Tetapi Gus Dur adalah salah satu pengecualian dari orang kebanyakan. Gus Dur adalah jenis manusia yang tidak cinta dunia,” kata KH M. Luqman Hakim, pimpinan majalah Cahaya Sufi dalam peluncuran buku ‘Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur’ di Wahid Institute, jalan Taman Amir Hamzah nomor delapan, Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (25/9) petang.

Gus Dur diberi kemampuan untuk mengelak dari perangkap-perangkap dunia, tambah Kiai Luqman Hakim, salah satu narasumber peluncuran buku di hadapan sedikitnya 250 peserta yang hadir.

Kemampuan ini merupakan gerakan pembebasan Gus Dur dari godaan duniawi. Dalam gerakan pembebasan yang dahsyat itu, Gus Dur memainkan jurus ampuhnya; menerima atas segala pemberian Tuhan.

Menurut Kiai Luqman Hakim, ‘penerimaan’ ini memudahkan jalan Gus Dur untuk menyingkirkan unsur-unsur duniawi.

Ada harta atau tidak, jadi presiden atau bukan, tidak menjadi persoalan bagi seorang Gus Dur.

Dari situ sebuah pemahan lanjutan diturunkan. Gus Dur yang tidak mencintai dunia, juga tidak menghindari dunia itu sendiri. Jadi, kehidupan Gus Dur berjalan selaras tanpa mengalami guncangan hebat karena hatinya selalu terpaut pada-Nya, tutup KH. Luqman yang terdengar oleh peserta yang meluber di luar ruang diskusi.

Menelisik Kesufian Gus Dur

Perkataan dan tindakan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang sering dianggap kontroversial, sebenarnya bisa dilacak dalam jejak sufisme.

KH Husein Muhammad sebagai seorang sahabat dan juga murid ketua Umum PBNU 1984-1999 mencoba menelisiknya dari sisi tersebut. Ia kemudian menuliskannya dalam buku Sang Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur, diluncurkan dan dibedah di Wahid Institute, Jakarta, Selasa sore (25/9).

Menurut Husein di dalam kitab Ikbarul Ulama bi-Akhbaril Hukama, para ulama menceritakan berita-berita para hukama (filosof atau sufi) bahwa para tokoh besar yang mengubah dunia ternyata sampai pada sebuah puncak pemikirannya menyerukan al-wahdah wujud, Allah.

“Saya kira Gus Dur menemukan itu,” ujar pengasuh pesantren Darut Tauhid, Cirebon.Karena itu, seluruh tingkah laku Gus Dur lahir dari wujud itu, dari Tuhan. Inilah yang menggerakkan seluruh pikiran dan tindakannya; kemanusiaan, pluralisme, dan penghargaan seluruh ciptaan Tuhan.

Selain Husein didaulat jadi pembicara adalah KH Luqman Hakim dan Jaya Suprana. Menurut KH Luqman, zahidnya Gus Dur bisa dilihat dalam kehidupannya sehari-hari.

“Gus Dur itu tidak menghindari dunia, tetapi tidak mencintai dunia,” ujarnya.

Lebih jauh ia mengatakan, sufi itu tidak menghindari dunia tapi menghindari keduniawiannya, seperti cinta harta, anak atau posisi. Karena kalau sudah cinta dunia akan datang cobaan.

“Gus Dur melakukan pembebasan itu semua,” tegasnya.

Sementara Jaya Suprana menelisik kebeseran Gus Dur dari sisi Kristiani. Dia berpendapat, Gus Dur itu tidak hanya kemauan, tapi kemampuan untuk menghargai dan menghormati kalangan yang berbeda.

“Itulah kekaguman saya yang tak habis-habisnya.”

Bedah buku tersebut dimoderatori puteri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid Sementara pembukaan puteri kedua, Anita Wahid. Dalama sambutannya, ia mengatakan bedah buku Sang zahid adalah rangakaian seribu hari Gus Dur yang jatuh pada tanggal 27 September nanti.

Hidup Gus Dur Untuk Umat

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak akan habis untuk dibahas, mulai dari segi pemahaman agamanya, ke-NU-annya, perjuangannya, sifat nyeleneh dan kontroversialnya, humornya, sampai sifat kewaliannya. Demikian dalam tahlil umum dan pengajian kebangsaan yang dihadiri KH Yahya C. Staquf (Katib Syuriyah PBNU), KH Nuril Arifin (mantan komandan Pasukan Berani Mati (PBM) dan KH Buchori Masruri (mantan ketua PWNU Jateng)

Tahlil umum dan pengajian kebangsaan diselenggarakan oleh Majelis Wakil cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Demak kota bekerjasama dengan pondok pesantren di lingkungan Demak Kota bertempat di Masjid Agung Demak, Sabtu 23/9 kemarin.

Gus Yahya yang mantan juru bicara presiden Gus Dur itu menceritakan kepada jamaah tentang kegigihan Gus Dur dalam berjuang yang tidak mengenal capek, sakit dan pantang menyerah ketika ia mempunyai keinginan untuk kepentingan umat

"Selama saya mendampingi beliau jadi presiden pernah dalam perjalanan dinas di Sumatra sampai dua hari dua malam tidak istirahat, sesampainya dibandara dilanjutkan ke luar negeri yaitu ke Barcelona,” tuturnya.

Gus Yahya menambahkan, dalam hidupnya Gus Dur hanya ingin masyarakat islam menjadi muslim sejati sepanjang sejarah yang bisa memelopori dirinya sendiri dan agama lain dalam kehidupannya,

"Gus Dur berjuang agar umat itu ingat atas ruhaniyah agama, jangan punya niat berontak kepada Allah," tambahnya

Sementara itu KH Nuril Arifin mengawali tausiyahnya dengan syiiran Gus Dur tanpo waton dengan harapan jamaah selalu mengingat sang Guru bangsa tersebut saat syiir dilantunkan, dan menjadi kenyataan saat syiir tersebut baru di baca langsung di sambung oleh ribuan Nahdliyin yang hadir

"Karena kita malam ini memperingati nyewu Gus Dur monggo kita awali dengan syiiran Gus Dur," tukas Kiai Nuril  

Dalam amaliah sehari hari K Nuril mengajak pada jamaah untuk selalu menambah keyakinan serta memantapkan diri untuk mengikuti ajaran para  ulama dan kyai NU. "Sing penting trisno, cinta dan khusnudhon sama kiai," ajaknya

Sedangkan KH Bukhori Masruri yang didapuk sebagai pembicara terakhir lebih banyak menyoroti pemikiran Gus Dur yang ilmiah, nyleneh dan sulit diterima masyarakat karena kejadian akan diketahui beberapa bulan hingga beberapa tahun kemudian dan penyampaiannya itu diutarakan dalam seminar maupun forum resmi lainnya

"Gusdur itu cerdas, saya menyaksikan itu, kalau ada yang bilang Gus Dur wali silahkan," tegasnya

Saking nylenehnya Gus Dur, K Bukhori menceritakan saat beliau minta bertemu PM Iran  untuk berdialog tentang nasib negara Timur Tengah namun ada persyaratan dari Perdana mentri Iran Hasyemi Rafsanjani tersebut yaitu mau ketemu Gus Dur asal tidak ngantuk persyaratan itu pun diiyakan Gus Dur. Namun saat bertemu PM Iran tersebut pun ia tetap mengantuk. Anehnya, saat berbicara semua pertanyaan terjawab dengan benar,

"Saat dialog dengan Hasyemi Rafsanjani Gus Dur nggih tetep ngorok, namun Gus Dur bisa menjawab pertanyaan PM Iran itu," cerita Kiai Buchori. “Habis dialog PM Iran pun acung jempol dan menyatakan kesalutan terhadap kecerdasan Gus Dur,” tambahnya.

Di akhir pidatonya Kiai Bukhori mengajak warga Nahdliyin untuk selalu berpegang dan memantapkan diri dalam mengamalkan Aswaja mengikuti ulama dan kiai NU seperti yang dilakukan oleh pemimpin NU sekaliber Gus Dur. Ia selalu mangajak umat manusia mengamalkan ajaran agama yang ada disekitarnya selama tidak bertentangan dengan syariat Islam seperti halnya ajaran Wali Songo, sehingga bisa diterima oleh masyarakat sekitar.

"Wali songo itu tidak mengislamkan Jawa tapi menjawakan Islam yaitu mengamalkan ajaran Islam sesuai budaya Jawa," ajaknya

Kesaksian Petinggi Muhammadiyah tentang Kewalian Gus Dur

Meskipun di depan publik NU dan Muhammadiyah sering dianggap berseberangan, tapi faktanya diantara tokoh dan petingginya sendiri terjalin keakraban dengan tetap menghormati perbedaan pandangan masing-masing.

Diantara tokoh Muhammadiyah yang pernah menyaksikan sisi “linuwih” Gus Dur adalah Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah dan Mukthie Fadjar seperti disampaikan oleh Mahfud MD dalam bukunya “Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di saat Sulit”.

Dalam bukunya tersebut Mahfud Menuturkan, Syafii Maarif pernah menulis di harian Kedaulatan Rakyat, menceritakan bahwa pada awal Juni 1999 Gus Dur sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa dia akan menjadi presiden dan menjanjikan akan memberi sejumlah kursi di kabinet kepada orang-orang Muhammadiyah.

Waktu itu, Syafii Maarif menjawab sambil bercanda, bahwa, jika Gus Dur menjadi presiden, Muhammadiyah tidak akan minta jatah kursi di kabinet. Syafii Maarif menceritakan percakapannya dengan Gus Dur itu beberapa waktu setelah Gus Dur benar-benar menjadi presiden.

Informasi Jatuhnya Soeharto

Bukan hanya soal dirinya akan menjadi presiden yang dikemukakan oleh Gus Dur kepada orang-orang tertentu. Setahun sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan, Gus Dur juga sudah mengatakan dengan yakin bahwa sang Presiden akan jatuh. Prof A Mukthie Fadjar, guru besar Hukum Tata Negera dari Universitas Brawijaya Malang pernah bercerita juga bawah ketika bertemu dengan Gus Dur di Kediri pada tahun 1997, ia dititipi pesan oleh Gus Dur untuk disampaikan kepada Malik Fadjar, kakkanya, yang ketika itu menjadi salah seorang direktur jenderal di Departemen Agama.

“Sampaikan pada Pak Malik Fadjar agar tidak usah dekat-dekat dengan Pak Harto. Sebenar lagi Pak Harto itu akan jatuh,”

Demikian pesan Gus Dur seperti ditirukan oleh Mukthie Fadjar kepada Mahfud MD ketika sama-sama menguji kandidat doktor di Universitas Padjdjaran Bandung. Dan terbukti penguasa Orde Baru ini jatuh oleh gelombang protes mahasiswa yang membawa angin perubahan lewat reformasi.

Isyaroh Gus Dur pada Pengeboman Kedutaan Australia

Aksi terorisme di Indonesia dengan jumlah korban meninggal sangat besar marak terjadi pada awal 2000-an, salah satu yang menjadi sasaran adalah kedutaan Australia di kawasan Kuningan Jakarta.

Pagi itu, pada hari terjadinya pengeboman, aktifitas Jakarta berjalan sebagaimana biasanya, panas, macet dan kesibukan jutaan manusia di dalamnya. Tak ada yang menduga ada peristiwa mengerikan bakal segera terjadi.

Gus Dur berada di bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta, sedang menunggu boarding menuju Yogyakarta bersama Imam Mudakkir, salah seorang teman lamanya. Asyiklah mereka berdua mengobrol di ruang tunggu. Ditengah-tengah obrolan itu, Gus Dur tiba-tiba terdiam, lalu berujar.

“Kang, kayaknya ini mau ada peristiwa luar biasa”
“Apa itu Gus,” kata Imam dengan mimik penasaran.

“Ya, ngak tahu, namanya juga isyaroh,”
“Apa ya?” lanjut Imam penuh tanya.

“Kita tunggu saja,” kata Gus Dur menutup pembicaraan tentang hal itu dan melanjutkan obrolan sebelumnya yang disela.

Lalu, terbanglah mereka berdua menuju kota budaya ini. Sesuai dengan aturan penerbangan, seluruh alat komunikasi berupa HP harus dimatikan selama penerbangan. Pertanyaan tentang kejadian besar hanya disimpan dalam hati.

Akhirnya setelah melewati perjalanan selama sekitar 1 jam, sampailah mereka di Yogyakarta dengan selamat.

Begitu turun dari pesawat, mereka segera menyalahan HP. Manusia zaman modern tampaknya sudah tak bisa lepas dari HP sehingga dalam keadaan apapun, berusaha terhubung dengan yang lain.

Benar saja, baru saja dihidupkan, HP Imam berdering, dilihat nomor penelepon ternyata dari istrinya di Jakarta. Segera saja dijawabnya panggilan tersebut. Ia mendengar suara istrinya dengan nada panik dari saluran seberang.

“Pak, ini kedutaan Australia baru saja di bom. Kaca-kaca rumah kita di lantari 2 pada pecah semua,”

“Bagaimana, apa semua yang ada di rumah selamat?” ujar Imam terkejut. Rumahnya memang berada di lokasi tak jauh di belakang kedutaan Australia.

“Alhamdulillah, yang di rumah tidak ada yang terluka, tapi ngak tahu yang di lokasi kejadian,”

Imam pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada Gus Dur. Ia disarankan untuk segera pulang.

“Sudah, kamu pulang saja, dengan penerbangan tercepat, urus keluarga di rumah. Saya biar melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencana semula,“ kata Gus Dur.

“Ya, makasih Gus“

Akhirnya mereka berpisah, Gus Dur pergi bersama penjemput yang sudah menunggu sedangkan Imam menuju counter penjualan tiket menuju Jakarta.