Nama Yusuf Chudlori, yang akrab dipanggil
Gus Yusuf, mulai banyak dikenal setelah berkiprah di Partai
Kebangkitan Bangsa. Pengasuh Asrama Perguruan Islam Pondok Pesantren
Salaafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, itu pernah menduduki jabatan
Ketua Dewan Pengurus Wilayah PKB Jawa Tengah. Anita Yossihara
Namun, baginya, berpolitik bukanlah
tujuan untuk meraih kekuasaan. Kiprahnya di PKB merupakan panggilan
agar bisa berbuat sesuatu untuk bangsa dan masyarakat.
Pascaperpecahan di tubuh PKB, Gus Yusuf
memilih kembali ke masyarakat. Ia mulai aktif di sejumlah lembaga
swadaya masyarakat. Salah satunya adalah Komunitas Gerakan Anti Narkoba
dan Zat Aditif yang bergerak dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan
narkoba.
Gus Yusuf juga aktif dalam gerakan
budaya, dengan bergabung dalam Komunitas Lima Gunung, yakni komunitas
seniman Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Menoreh, dan Andong. Di
kalangan tokoh-tokoh Komunitas Lima Gunung, ia memang paling muda
dibandingkan dengan tokoh-tokoh senior seperti seniman Sitras Anjilin,
Sutanto Mendut, dan Romo V Kirjito.
”Tetapi, ia tokoh muda yang potensial ke
depan karena mendalami dan menyebarkan visi KH Abdurrahman Wahid
tentang pluralisme hingga ke tingkat bawah,” kata Romo Kirjito
mengomentari ketokohan Gus Yusuf.
Hari-harinya diisi dengan mengajar di
pondok pesantren, menyalurkan ilmu yang ditimbanya dari berbagai pondok
pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Setiap hari dia juga harus
menerima tamu yang datang untuk berkonsultasi, meminta pendapat, dan
semacamnya.
Anak dari ulama karismatis Nahdlatul
Ulama (NU), Kiai Haji Chudlori, itu pun cukup dikenal di kalangan muda
dan mahasiswa. Ia sering terlibat dalam forum-forum diskusi dengan kaum
muda NU Jateng.
Ayah tiga anak itu juga mendirikan radio
sebagai sarana untuk menyampaikan pandangan serta pemikirannya. Dia
juga tidak enggan memenuhi undangan dakwah dari kampung ke kampung.
Sekolah-sekolah juga mulai menjadi lahan garapannya.
Ia mengingatkan umat agar kembali kepada
tradisi yang menjadi benteng terakhir untuk menangkal pengaruh
liberalisme sekaligus radikalisme yang tumbuh subur pascareformasi.
Berikut petikan wawancara bersama Gus Yusuf di kediamannya di Tegalrejo, Magelang, Senin (9/11).
Masalah apa yang saat ini dianggap paling mengganggu bangsa ini?
Sejak reformasi ini, banyak persoalan
yang muncul akibat kebebasan yang ada. Reformasi masih dimaknai oleh
sebagian masyarakat sebagai kebebasan semata. Padahal, makna reformasi
adalah bagaimana kita harus menata, membenahi kembali kondisi bangsa.
Era kebebasan ini memang ada sisi
maslahat (manfaat) dan juga sisi mudarat (kerugian)- nya. Maslahatnya,
kita bisa mengakses informasi dari mana pun dengan bebas dan
menyampaikan sesuatu secara bebas.
Kiai-kiai, misalnya, bisa ceramah di
mana pun dengan bebas. Dulu, tahun 1990-an, mau ceramah saja sulit,
harus izin ke koramil (komando rayon militer), ke polsek (kepolisian
sektor). Bahkan, kiai harus mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila), haru punya SIM, surat izin mengaji, dan
sebagainya. Alhamdulillah, sekarang kita sudah leluasa untuk
berceramah.
Tetapi, di sisi lain ada mudaratnya.
Kebebasan ini juga membukakan pintu masuk kepada paham-paham atau
aliran-aliran pemikiran yang bersifat impor, dari luar negeri. Kalau
menengok terlalu ke kiri, akan menjadi liberal. Sebaliknya, kalau
terlalu menengok ke kanan, akan menjadi radikal.
Kalau di Islam, paham-paham radikal dari
Timur Tengah mulai masuk. Aliran itu memang sudah ada sejak Orde Baru,
tetapi tidak leluasa. Pascareformasi mereka secara terbuka mencari
jemaahnya ke masjid-masjid sampai ke desa-desa.
Ini bukan hanya soal akidah, tetapi juga
sudah menyangkut masalah kebangsaan. Karena paham radikal itu masuk
bukan hanya membawa akidah, tetapi juga kepentingan kekuasaan. Mereka
sudah mulai mengutak- atik NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
dengan mengampanyekan pembentukan pemerintahan Islam di muka bumi.
Sekarang ini (gerakannya) sangat terasa di masyarakat karena mulai
masuk ke masjid- masjid, ke kelompok-kelompok pengajian, bahkan
sekolah-sekolah.
Mereka mengklaim, Islam itu Arab.
Kelompok ini punya militansi, ilmu, juga dana. Dana ini yang berbahaya
karena mereka bersedia membantu biaya pembangunan masjid hingga 50
persen. Tapi, syaratnya, masjid tidak boleh dipasang beduk, tidak boleh
buat baca Al Barzanzi (kitab berisi syair puji-pujian kepada Rasul
Muhammad SAW dan Allah SWT).
Persoalannya tidak berhenti pada soal
akidah maupun tradisi karena fenomena itu juga membuat masyarakat
terbelah. Bulan puasa yang lalu ada perpecahan di sebuah desa yang
berjarak 15 kilometer dari sini (kediaman Gus Yusuf). Ada sebuah masjid
yang kiainya kebetulan pergi ke Malaysia karena alasan ekonomi.
Sewaktu si kiai pulang ke desa, masjid sudah dibangun megah dengan
bantuan dana tadi.
Ada acara buka bersama dan makanan
disajikan di dalam masjid. Si kiai itu mengingatkan, mbok makanannya
ditata di serambi saja. Peringatan itu membuat marah sekelompok
masyarakat yang sudah dipengaruhi kelompok dengan paham baru itu.
Sementara si kiai bersikukuh karena masjid dibangun di atas tanah wakaf
keluarganya.
Sekelompok masyarakat itu lalu keluar
dari masjid, mendirikan tenda untuk beribadah di lapangan. Mereka
potong saluran air PAM dan aliran listrik, masjid dirusak. Masalah ini
sampai ditangani polisi karena sudah masuk kriminal.
Itulah dampak yang paling dikhawatirkan
karena memecah belah masyarakat. Itu membahayakan karena di Jateng dan
DIY saja masjid yang dibangun dengan dana dari Timur Tengah itu sudah
ratusan.
Kemudian di dunia pendidikan sekarang
ini banyak sekolah baru yang berlabelkan Islam dengan kualitas dan
sarana yang bagus. Awalnya saya ikut bangga, tetapi persoalan baru
muncul kemudian setelah mengetahui pola pendidikannya.
Lebaran yang lalu saya kedatangan tamu
suami istri. Mereka bercerita telah memasukkan anaknya ke sekolah full
day Islam favorit karena keduanya sibuk bekerja. Harapannya, di sekolah
itu anak bisa memperoleh ilmu umum dan ilmu agama.
Tetapi, kemudian mereka kaget melihat
perkembangan sang anak. Saat jalan-jalan dan melihat KFC, anaknya yang
masih kelas II SD berkata, ”Itu restoran milik Amerika, kafir. Kita
enggak boleh, Pak, jajan di situ.”
Tamu saya itu kaget, kok anak kelas II
SD sudah bisa mengafir-ngafirkan, artinya sudah ditanamkan kebencian
kepada orang lain sejak kecil. Itu kan berbahaya.
Puncaknya, saat tamu saya datang ke
sekolah, dia memuji fasilitas sekolah yang lengkap. Tapi dia kaget saat
mengetahui di sekolah itu tidak ada tiang bendera. Lalu, bertanyalah
dia kepada guru di sana, mengapa tidak ada tiang bendera. Jawabannya
cukup mengagetkan, karena, katanya, menghormat bendera itu salah satu
kemusyrikan.
Lalu, saya juga didatangi guru BP
(bimbingan dan penyuluhan) sebuah SMA favorit. Dia mengeluh karena ada
satu anak didiknya yang berprestasi dan terpilih menjadi anggota
paskibraka di kabupaten memilih mundur karena tak mau menghormat
bendera.
Padahal, menurut saya, menghormat bendera
adalah bentuk penghormatan kepada pejuang, termasuk para kiai yang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Islam juga
mengajarkan hizbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian
dari iman.
Lalu, apa dampak luas dari adanya fenomena tersebut?
Kalau melihat itu semua, wajar bila
terorisme tumbuh subur. Tak mengherankan jika sekolah dan masjid
menjadi ajang rekrutmen teroris karena sejak kecil sudah ditanamkan
kebencian kepada orang lain, bahkan sesama Muslim, dan kebencian kepada
bangsanya sendiri.
Yang harus dilakukan negara?
Negara harus tegas. Seharusnya negara
tidak membiarkan kelompok tertentu mengampanyekan pembentukan
pemerintahan Islam dunia. Departemen Pendidikan Nasional juga harus
lebih ketat menyeleksi dan mengevaluasi sistem serta pola pendidikan di
sekolah-sekolah.
Pemerintah juga harus serius dalam
penegakan hukum. Kegagalan pemerintah dalam menangani kasus yang
sekarang ini mencuat (KPK vs Polri) akan dijadikan alasan pembenar oleh
kelompok itu bahwa yang paling benar adalah hukum yang sesuai dengan
syariat Islam.
Pemberantasan teroris juga jangan
setengah-setengah, jangan hanya menangkap si A, si B, tapi berantas dari
akar-akarnya. Salah satunya, dengan meningkatkan derajat perekonomian
masyarakat karena kelompok itu memiliki dana yang digunakan untuk
membantu dan memengaruhi masyarakat.
Lalu, bagaimana masyarakat harus bersikap?
Masyarakat harus diingatkan untuk kembali
ke Pancasila. Pancasila itu merupakan bingkai yang paling ideal untuk
menangkal paham-paham itu. Pancasila juga mencerminkan nilai-nilai
keislaman, seperti keadilan, kesamaan derajat, kemanusiaan, dan
ketuhanan. Meski Islam mayoritas, umat agama lain tetap harus dihormati.
Selain itu, masyarakat juga harus
kembali ke tradisi karena tradisi itu tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Tradisi berkumpul dengan sesama warga, seperti kenduren dan
semacamnya, harus terus dihidupkan. Karena jika suatu permukiman itu
kering, tidak ada tradisi berkumpul, akan menjadi lahan empuk bagi
tumbuhnya gerakan radikal dan terorisme. Tradisi itulah yang merupakan
benteng lokal untuk menangkal tumbuh suburnya radikalisme.
***
M Yusuf Chudlori
• Tempat dan Tanggal Lahir: Magelang, Jawa Tengah, 9 Juli 1973
• Kegiatan Utama: Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
• Pendidikan:
- Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 1994
- Pesantren Salafiyah Kedungbanteng, Purwokerto, Jawa Tengah
- Pesantren Salafiyah, Kebumen, Jawa Tengah
- Institute Training for Development, Massachusetts, Amerika Serikat •
Kegiatan Lain:
- Ketua Tanfidziyah PKB Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
- Pejabat Sementara Ketua DPW PKB Jawa Tengah, 2007
- Ketua Yayasan Syubbanul Wathon, Magelang, Jawa Tengah
- Anggota Komunitas Gerakan Antinarkoba dan Zat Adiktif – (Komganaz)
- Salah satu pendiri Komunitas Merapi- Salah satu pendiri Komunitas Lima Gunung
- Pendiri Akademi Gunung- Pengelola Radio Fast FM, 2004
• Publikasi/Buku:
- Menapak Hidup Baru
- Fiqih Interaktif- Baiti Jannati, Rumahku Surgaku
• Keluarga:
Istri: Vina Rohamatulummah
Anak:
- Ahmad Haikal Tajani Humaid
- Yusfina Zahra Tsania